Cerpen Selamat

Senin, 28 Maret 2016 | 09:15
Hai Online

Teuku Rifnu Wikana

Sampar adalah sebuah kota yang berada di ujung pulau Santani. Ia sangat dikenal dengan kekayaan alamnya: rempah, emas, dan sebagainya. Dulu, kota ini adalah tempat berkumpulnya para pedagang yang ingin melakukan perjalanan panjang melalui jalur laut. Tapi kini, orang-orang tak lagi berani menginjakkan kakinya dan tinggal berlama-lama. Kota itu sudah menjadi tempat berkumpulnya para aparat negara dan kelompok-kelompok separatis yang berseberangan. Dan di tempat inilah aku ditugaskan meliput segala kejadian yang tengah terjadi di masyarakat.

Kalau Anda pergi ke daerah itu, maka Anda akan merasa berada di tahun delapan puluhan. Anda tidak akan asing melihat orang-orang yang berjalan puluhan kilometer dengan membawa lampion di tangan. Rumah-rumah terbuat dari kayu beratap nipah. Anak-anak haus pendidikan dan hiburan. Sementara kampung penuh dengan pos-pos penjagaan. Hening. Tak ada suara, kecuali binatang yang selalu bergantian mengeluarkan suara yang sama; sama seperti suara seabad lalu. Tak ada yang berubah, kecuali penduduk kampung yang berubah jumlahnya. Hilang, atau pergi. Tak tahu kemana.

Ini adalah tahun kedua setelah turunnya seorang pemimpin negara karena desakan masyarakat. Seluruh daerah berpesta atas kemenangan tersebut. Tapi apa yang harus dilakukan setelah kemenangan itu? Tidak ada yang tahu. Yang mereka tahu, bahwa musuh bersama telah ditaklukkan. Maka kebebasan sudah dalam genggaman.

Sementara itu, masyarakat mulai bertindak di luar batas. Menggelepar menghadapi kebebasan karena selama puluhan tahun dibatasi. Pikiran dan perbuatan dipenjara, khususnya daerah yang mau saya kunjungi ini – daerah yang semenjak tercetusnya kemerdekaan sampai detik ini masih sama seperti dulu. Tidak banyak yang berubah. Sebuah analogi nyata, bahwa dalam satu tandan kelapa harus ada satu buah yang dikorbankan sarinya untuk menyuburkan buah lain. Membuat buah itu busuk dan kering. Lalu dengan senyum lebar kita petik buah-buah yang subur. Sementara yang busuk kita campakkan, karena tidak ada isinya, tidak berguna lagi.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Saya sudah berada di terminal Montani di kota Rampak – sebuah terminal bus jurusan Rampak-Sampar. Setelah membeli tiket di loket, saya pun naik ke bus yang berada di pojok terminal. Tidak ada bus lain. Hanya itu satu-satunya bus tujuan Sampar yang beroperasi malam. Yang lain lebih memilih perjalanan pagi hari.

Seluruh penumpang sudah menempati bangkunya masing-masing. Kondektur menutup bagasi yang sudah di penuhi barang-barang bawaan penumpang. Supir berjalan menuju bangkunya. Aku duduk di bangku pertama di sebelah kiri supir. Tidak ada yang berani untuk duduk di bangku tersebut, selain aku dan seorang wanita berjilbab yang duduk persis di sebelahku. Wanita yang memiliki wajah yang rupawan. Manis, dan sangat memikat hati siapapun yang melihatnya.

Pukul 18.00. Bus keluar dari terminal. Perjalanan yang harusnya hanya sepuluh jam, ternyata sudah memakan waktu tiga belas jam. Tiap pos ada pemeriksaan. Antara pos satu dengan pos lainnya berjarak lebih kurang lima kilometer. Ada pos-pos aparat negara, ada juga pos-pos bayangan. Termasuk penyisiran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tak dikenal, yang mengatas-namakan salah satu kelompok: aparat negara atau SAMERKA (Sampar Merdeka). Yang jelas mereka semua berseragam hijau.

Pukul 20.00. Sinaran lampu bus, mengarah lurus ke depan. Pos pertama sampai pos ke empat telah dilalui. Di pos kelima, beberapa orang lengkap dengan seragam berwarna hijau dan bersenjata menghadang jalan. Kondektur turun menyapa orang-orang tersebut, lalu berlari ke arah pos penjagaan, guna melaporkan jumlah penumpang yang ada di dalam bus, juga mencari kemungkinan-kemungkinan lain, Siapa tahu ada penyusup di antara penumpang tersebut.

Salah seorang aparat berteriak: “Yang laki-laki turun!”

Semua penumpang laki-laki turun. Termasuk saya. Kami diperintahkan untuk berbaris dan mengeluarkan kartu tanda pengenal. Saya berada di barisan kedua. Di depan saya adalah seorang bapak yang membawa anak perempuannya. Anaknya memandang takut dari dalam bus. Melihat apa yang sedang dilakukan aparat terhadap bapaknya. Tapi syukur, bapak tersebut selesai diperiksa. Kini giliran saya. Kebetulan di leher saya menggelantung identitas wartawan. Itu pulalah yang pertama sekali mereka tanyakan. Segala macam pertanyaan dilontarkan kepada saya. Saya menjawab semua pertanyaan itu dengan berusaha tenang. Akhirnya saya selesai diperiksa. Kini giliran orang-orang di belakang saya. Satu-persatu mereka ditanya dan menjawab, sampai akhirnya semua selesai diperiksa. Kami pun kembali ke dalam bus. Setelah semua masuk, supir mulai menjalankan bus. Pos kelima sudah dilewati.

Pos keenam. Pos ketujuh. Pos kedelapan. Saat memasuki pos kesembilan, tepatnya di tengah-tengah hutan, supir terkaget, dan seketika menghentikan bus. Dia melihat seseorang seperti kilat, melintas di badan jalan. Dalam hitungan detik, beberapa orang dengan loreng berbeda, sudah berada di depan bus. Tak tampak jelas wajah orang-orang itu. Mereka berdiri tepat di batas cahaya yang menyinari kaki sampai ke dadanya. Perlahan mereka mulai menampakkan wajahnya. Wajah-wajah yang penuh amarah. Dan bukan hanya itu, dalam waktu bersamaan, dari kiri bus, puluhan orang lengkap dengan persenjataan yang berbeda-beda muncul dari dalam hutan. Rasa takut mulai menghantui saya, karena saya yakin bahwa orang-orang itu pasti bukan aparat negara.

Wanita di sebelahku sepertinya tahu apa yang saya rasakan.

“Kamu lakukan saja apa yang mereka inginkan. Mereka tidak akan berbuat kasar jika kita menuruti perintahnya,” kata wanita tersebut.

Terdengar teriakan dari salah seorang anggota kelompok tersebut.

“Semua yang di dalam bus turun!”

Bahasanya tidak asing di telingaku. Ayahku sering menggunakan bahasa ini. Ya, mereka adalah Samerka. Kami pun turun keluar bus. Gelap sekali tempat itu. Kami dibawa ke pinggir hutan, dekat sebuah batu besar. Kali ini pemeriksaannya berbeda dari sebelumnya. Kita diminta untuk membentuk dua barisan, barisan laki-laki dan perempuan. Saya berada di barisan pertama laki-laki. Mereka menanyakan tujuan saya ke Sampar. Saya menjelaskan bahwa ini adalah pekerjaan saya sebagai wartawan, yang ingin meliput seputar konflik yang terjadi di Sampar.

Mendengar penjelasan saya, seorang lelaki setengah baya, bertubuh sedang, menghampiri saya. Sepertinya dia mendengar semua perkataan saya. Lalu tepat di depan mata saya dia berkata, bahwa mereka tidak menginginkan semua ini, jika pemerintah mau dan mengerti apa yang mereka inginkan. Itu saja. Ya, cuma kata-kata itu yang dia ucapkan. Tapi justru dari kata-kata itu saya sudah menemukan apa yang saya cari untuk peliputan ini.

Setelah itu, laki-laki setengah baya bertubuh sedang itu pun pergi. Selesailah pemeriksaan untuk saya. Tinggal menunggu yang lain.

Saya melihat, semua diperiksa mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan selalu berhenti di pergelangan kaki. Seolah mencari sesuatu. Ya, mereka mencari apakah ada bekas karet kaos kaki aparat. Karena umumnya bekas itu tidak mudah hilang. Berbeda dengan wanita. Satu persatu wanita tersebut diinterogasi. Kini giliran wanita di sebelahku. Aku mendengarkan bahasa yang digunakan. Aku sedikit mengerti. Mereka sedang membicarakan tentang pentingnya arti kemerdekaan. Wanita di sebelahku hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah semua diperiksa, kami pun kembali ke dalam bus. Tidak ada seorang pun yang ditahan. Mereka hanya meminta beberapa nomor telefon penumpang.

Setelah semua kembali duduk di bangku masing-masing, bus kembali dijalankan. Para penumpang yang tadinya masih sempat berbicara satu sama lain, kali ini semuanya terdiam, shock. Wajah pelepasan dari sebuah beban terberat dalam perjalanan ini tampak tergambar di wajah para penumpang. Dan karena pengalaman ini pulalah aku semakin dekat dengan wanita di sebelahku.

“Saya Indah.” Wanita itu mempernalkan diri.

“Saya Deva,” sahutku.

Pembicaraan pun bergulir seiring waktu.

Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Beberapa penumpang tertidur pulas. Saya dan Indah masih terus bercerita, dari seputar Sampar sampai ke persoalan pribadi. Indah adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Hanya dia dan kedua adiknya yang tinggal bersama orangtuanya. Kedua kakaknya sudah lama meninggalkan daerahnya, dikarenakan banyaknya ancaman yang diterima keluarganya. Maklum, keluarga pegawai negeri. Ayahnya adalah Camat di kota Sampar yang seringkali didatangi oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan sebuah organisasi. Tapi kelompok-kelompok tersebut tidak pernah berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak punya surat perintah.

Terakhir dia mendapat kabar, bahwa kendaraan yang dia miliki diambil oleh salah satu kelompok, Sampar Merdeka. Keluarganya mengaminkan permintaan kelompok tersebut, dengan alasan yang tidak dapat ditolak. Mereka datang dengan surat perintah dari komandan, meminta agar kendaraan tersebut dipinjamkan sebagai kendaraan pembawa bahan-bahan makanan dan sebagainya. Alasan yang cukup bisa diterima. Tapi apakah kendaraan itu kembali, Indah juga tidak berharap.

Cerita-cerita Indah sangat membuat saya semakin penasaran. Dia yang sudah menjadi korban pemanfaatan dari kelompok-kelompok tersebut, masih saja dapat berpikir hal yang positif. Lalu apa sebenarnya hal yang paling menakutkan dari persoalan-persoalan ini, jika wanita secantik dan selembut Indah pun tidak merasa takut. Kecurigaan saya, jangan-jangan ketakutan ini memang sengaja diciptakan? Pertanyaan itu kini sudah memenuhi lembaran notesku. Sementara Indah sudah tertidur pulas.

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Perjalanan agak lancar. Pos-pos penjagaan sudah tak tampak. Mata ini pun semakin berat. Mulai tertutup, dengan sedikit sadar. Lambat laun pikiran-pikiran mulai menghilang, gelap. Kantuk yang nyaman karena banyaknya informasi-informasi penting yang sudah didapat. Semakin hilang, dan semakin hilang. Tapi aku sedikit terganggu oleh suara-suara sumbang dengan nada awas. Ya, itu adalah suara supir yang sedang berbicara dengan kondektur.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan memecah kaca jendela bus, tepat di samping salah seorang penumpang. Penumpang tersebut berteriak sejadi-jadinya. Semua panik.

“Tiarap! Semua tiarap.” Kondektur berteriak.

Semua penumpang tiarap. Suara tembakan kini semakin mendekat. Byarrr!! Seluruh kaca bus pecah. Pecahan tersebut mengenai seluruh penumpang yang sedang tiarap. Semua penumpang berteriak ketakutan. Saya tidak mampu berbuat apa-apa. Indah berada tepat di sampingku. Indah menangis. Dia meminta agar saya segera menenangkan penumpang supaya tidak lagi berteriak.

“Semua tenang! Jangan berteriak. Cobalah untuk tenang!” Lambat-laun suara teriakan mulai menghilang. Saya pikir saya berhasil menenangkan penumpang.

Ternyata mereka diam di karenakan inisiatif supir yang tiba-tiba menyalakan TV dan mengambil channel kartun Tom and Jerry. Volume TV pun dimaksimalkan oleh supir. Hanya beberapa detik, penumpang kembali lagi berteriak. Suara-suara orang di luar semakin mendekat di sekeliling bus tersebut. Seseorang membuka pintu belakang dan masuk ke dalam bus. Dia aparat negara. Memohon agar semua penumpang tidak berteriak dan meminta agar supir mematikan TV yang sangat mengganggu mata dan telinga.

Aparat tersebut tetap siaga dengan posisi berjongkok. Dia tetap berjaga. Melihat ke depan, belakang, dan samping bus. Dua orang muncul dari depan dan belakang bus. Mereka adalah Samerka. Aparat di dalam bus dengan sigap menembakkan senjatanya ke arah belakang. Samerka yang berada di belakang menghilang. Tapi aparat tersebut tidak sadar bahwa di depannya sudah berdiri seorang Samerka yang masuk lewat pintu depan, yang siap menembakkan senjatanya.

DORR!!

Tembakan sudah terlepas mengenai dada kiri aparat. Seluruh penumpang berteriak ketakutan. Samerka kembali menembakkan senjatanya ke arah jendela, meminta agar penumpang tidak mengeluarkan suara, dan meminta aparat meletakkan senjatanya. Aparat dengan darah yang sudah membasahi seragamnya pun meletakkan senjatanya.

Saya berada persis di belakang Samerka. Berdekatan dengan supir dan kondektur. Perlahan supir menggeser kunci roda ke arahku. Tanpa berpikir panjang, saya ambil kunci roda tersebut dan saya layangkan persis di kepala belakang Samerka. Dia terjatuh menimpa salah seorang penumpang yang sedang bertiarap. Penumpang yang tertimpa tubuh Samerka mendorongnya. Kini Samerka tersebut sudah berada di kolong, di samping bangku bus. Semua terdiam. Tak bergerak. Fokus mendengar apa yang terjadi di luar bus.

Lambat-laun suara tembakan di luar menghilang. Sepertinya konflik sudah selesai. Perlahan penumpang berdiri dan membersihkan bangku-bangkunya yang penuh dengan serpihan kaca. Beberapa penumpang tak berhenti menangisi keadaan yang dialaminya. Sementara aparat sudah mulai melemah. Dan Samerka tersebut kini sudah terikat tangannya oleh kondektur bus. Kedua diletakkan di belakang. Duduk di bawah berdampingan. Bus pun kembali dijalankan.

Kini sudah pukul 03.30. Wajah-wajah penumpang tegang. Ketakutan, serba salah, karena di dalam bus tersebut ada dua orang yang kini mengancam hidup mereka.

“Jika mereka di buang di tengah hutan dalam kondisi seperti ini, maka ancaman terbesar buat kita ke depan semakin berat. Jalan satu-satunya adalah, kita bawa mereka dimana mereka mau diturunkan,” kata supir kepada penumpang. Semua penumpang akhirnya menyetujui supir tersebut.

Saya pikir dan saya berharap, ini adalah konflik senjata terakhir kami alami. Tapi ternyata tidak. Saat Samerka mulai tersadar dari pingsannya dan aparat semakin melemah, sementara penumpang belum lagi selesai melepas ketegangan, tiba-tiba sekelompok orang lagi muncul di tengah jalan. Lengkap dengan seragam yang berbeda-beda, mereka menghentikan bus dengan tembakan. Kembali seluruh penumpang berteriak. Teriak yang letih. Ya Allah, apa maksud dari semua ini. Seseorang menangis berdoa. Beberapa orang dari kelompok itu bertindak kasar dengan menarik kondektur keluar dari dalam bus. Kondektur tersungkur di jalanan. Dia hendak melakukan pembelaan. Tiba- tiba salah seorang dari kelompok itu melepaskan tembakan tepat di kepala kondektur.

Mata ini tak sanggup melihat kekejaman yang dilakukan kelompok tersebut. Indah pun tersentak, menutup matanya. Saya tidak habis pikir atas perlakuan mereka. Siapa mereka ini? Lebih keji dari binatang! Saya berusaha mendengar pembicaraan mereka. Karena dari situ saya bisa tahu mereka berasal dari daerah mana. Saya semakin bingung, karena dari bahasa yang saya dengar, terdapat beberapa logat daerah yang berbeda-beda. Siapa mereka ini?

“Mereka adalah OTK (Organisasi Tak Dikenal) yang selalu memanfaatkan keadaan,” kata Indah berbisik kepadaku.

Ah… Apa karena terlalu sulitnya mencari pekerjaan di negara ini, sampai-sampai mereka memilih pekerjaan seperti ini. Lalu salah seorang memandang tajam ke arahku. Sepertinya dia tahu bahwa aku sedang berbicara tentang sesuatu. Dia lalu menghampiriku, dan melayangkan senjatanya tepat di keningku. Keningku berdarah. Kemudian dia tarik kartu identitas dari leherku. Lalu dia berikan kepada temannya.

“Keluarkan dompet kalian! Kami ingin melihat identitas kalian,” teriak salah seorang dari mereka.

Semua mengeluarkan dompet. Tapi mereka belum sadar bahwa di dalam bus tersebut ada dua orang lawan mereka: Samerka dan aparat negara.

Aparat yang tadinya sudah semakin melemah memandang SAMERKA. Dia memberi suatu sinyal. Seolah-olah aparat tersebut ingin mengatakan, ayo, sekarang!

Samerka seolah menyetujui sinyal yang ditawarkan aparat kepadanya. Perlahan, tangan aparat membuka ikatan tangan Samerka. Saat ikatan tersebut sudah hampir terbuka, kelompok tak dikenal tersebut melihat ke arah mereka berdua lalu berteriak kepada temannya di luar, bahwa di dalam bus ada dua kelompok pejuang bodoh.

Saya berpikir keras, apa yang bisa saya lakukan dalam keadaan seperti ini, jika aparat dan Samerka itu tertembak. Ya, satu-satunya jalan, bus ini harus dijalankan! Saya pun segera memberi aba-aba kepada supir, agar dia segera menginjak gas. Sepertinya supir mengerti apa yang saya sampaikan lewat ekspresi yang saya gambarkan, dan dia setuju. Kebetulan, mesin masih menyala, belum diminta untuk dimatikan. Sementara itu, aparat di belakang masih berusaha membuka ikatan di tangan Samerka. Sambil memancing organisasi tak dikenal itu, aparat mengatakan kepada organisasi tak dikenal: “Kalian adalah anjing-anjing bodoh! Diperbudak uang! Mengatasnamakan kelompok lain demi uang.”

Organisasi itu semakin emosi mendengar ocehan aparat.

“Bukannya kalian yang diperbudak? Kalian cuma robot-robot bodoh! Dimanfaatkan untuk sebuah kepentingan. Dan bukan untuk kepentingan bangsa ini. Kalian tidak tahu apa-apa. dan kami sudah tidak percaya dengan Bangsa ini! Kami cuma percaya pada Ka Mi.” jawab salah seorang dari organisasi itu.

Tiga orang dari organisasi menyusul masuk ke dalam bus, lewat pintu depan. Seorang menghampiri pemimpinnya ke belakang, tempat aparat dan Samerka yang sedang terancam. Yang dua orang lagi berdiri di depan, memandang penumpang satu persatu. Sementara saya, dengan napas terengah-engah, meminta supir untuk segera mengambil keputusan. Supir pun melaksanakannya. Bus digas sekencang-kencangnya. Keempat orang dari organisasi tersebut terkaget karena hentakan gas. Dua orang tersungkur. Seorang dari mereka menembakkan senjatanya tanpa aturan. Aku bergeser ke arah Indah dan melindungi tubuhnya dari tembakan itu yang akhirnya mengenai seluruh badan bus, serta dua orang penumpang. Seorang ibu berteriak, juga penumpang lainnya. Ibu tersebut menangis sejadi-jadinya melihat kondisi anaknya yang sudah tak bernyawa lagi.

Kepanikan mulai tampak di wajah organisasi tak dikenal itu. Mereka kembali melepaskan tembakan ke arah aparat, tepat di lututnya. Aparat berteriak menahan kesakitan sambil bergerak kencang membuka ikatan dan menempelkan pinggang belakang, tempat dia menyelipkan senjatanya. Dia membisikkan sesuatu pada Samerka agar mengambil senjata itu. Kini ikatan tersebut sudah terlepas. Secepatnya dia mengambil senjata yang diberikan aparat, lalu menembak kedua orang dari organisasi tersebut.

Saat ada dua orang lagi ingin berdiri, perlahan kuambil kunci roda yang berada di bawah bangku. Kulayangkan kunci roda itu ke kepala salah seorang dari organisasi itu. Dan ibu yang kehilangan anaknya itu, sambil terus menangis, menginjak-injak perut dan mencakar muka salah seorang dari kelompok tersebut yang masih terduduk di lantai bus. Lalu beberapa penumpang dengan marahnya ikut menginjak para orang-orang yang sudah berada di lantai itu. Sambil berteriak, menangis sejadi-jadinya, mereka menghabisi orang-orang tersebut. Ada yang menggigit muka, menusuk mata dengan pena, dan ada pula yang memukulkan senjata ke muka mereka berkali-kali. Pecah, robek, penuh darah.

Samerka dan aparat terperangah melihat apa yang di lakukan penumpang terhadap orang-orang dari organisasi tersebut. Keduanya terdiam. Perlahan Samerka meneteskan airmata. Dia tertunduk. Lalu menghampiri Aparat yang sudah sekarat dan seolah-olah ingin mengucapkan, maaf. Aparat juga demikian, ingin mengucapkan kata yang sama. Lalu Samerka berdiri seperti ingin melangkah ke pintu belakang. Langkahnya terhenti. Lalu perlahan memandang ke arahku. Ya, dia menatapku dengan penuh arti, harap, dan sebagainya.

Saya meminta supir untuk menghentikan bus. Perlahan gas diturunkan. Penumpang mulai lelah dengan apa yang sudah dilakukan pada tubuh-tubuh tak bernyawa itu. Yang terdengar hanya tangisan mereka. Baru saja bus itu ingin berhenti, tiba-tiba terdengar suara tembakan, menembus kepala Samerka. Dia terjatuh. Aku berteriak sejadi-jadinya. Matanya berakhir di mataku. Semua penumpang berteriak, melihat apa yang terjadi pada orang yang sudah menyelamatkan juga mengancam hidup mereka.

Saya menghampiri Samerka, mengangkat tubuhnya yang sudah tidak bernyawa lagi, lalu mendudukkannya persis di samping aparat yang juga sudah sekarat. Aparat tak sanggup menahan tangis. Dia cuma bisa memandang tubuh yang tak bernyawa itu. Air matanya menetes.

Bus kembali berjalan seiring waktu yang sudah semakin menampakkan penerangan. Jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Penumpang berserakan duduk tak beraturan dimana-mana. Angin semakin kencang masuk ke dalam bus. Tapi sama sekali penumpang tidak merasakan dinginnya udara, karena tubuhnya telah menjadi api. Api amarah. Semua terdiam. Mata merah menerawang, tanpa pengharapan. Hanya ada kepasrahan yang terpancar dari matanya.

Dalam sebuah perjalanan, hal yang paling menenangkan adalah ketika kita sudah melihat gapura bertuliskan “Selamat Datang” pada kota tujuan. Pertanda bahwa kita telah sampai. Tapi tidak untuk kali ini. Karena hal yang paling diinginkan saat ini adalah rumah. Rumah ketenangan, Rumah perdamaian, ya perdamaian.

Pukul 06.00 pagi. Bus telah sampai di terminal. Pintu terbuka. Tapi tak satu pun dari penumpang yang keluar. Semua terdiam. Suara-suara semakin ramai menghampiri bus tersebut. Tangisan memecah kecemasan. Jemputan telah datang, membawa tubuh dengan jiwa yang hampir hilang. Tak ada lagi airmata dari penumpang. Hanya rasa syukur yang mendalam. Yang tinggal hanya tubuh aparat yang sekarat dan tubuh Samerka yang telah wafat.

Keesokan harinya, di sebuah losmen kecil di jalan Karang Baru, Sampar, setelah aku selesai menelefon Indah, sambil menulis semua kejadian yang kualami ini, aku mendengar di radio bahwa seorang Samerka dikebumikan secara layak, dengan upacara kenegaraan. Sementara aparat yang sekarat terduduk di kursi roda di depan makam Samerka. Tanpa seragam. Ia baru saja memutuskan untuk keluar dari Angkatan Bersenjata.

*Dipublikasikan di Lentera Timur pada 2012

Tag

Editor : Hai Online