Jujur saya bukan penggemar berat komik Marvel atau DC Comics. Masa kecil saya dahulu lebih dekat kepada kartun Jepang seperti Voltus V, Mazinger Z, sampai karakter Polisi Luar Angkasa Gavan. Kedekatan saya akan komik superhero sebatas tahu saja jagoannya. Superman, Batman, Spider-Man atau Iron Man. Nggak kemudian hafal mampus dengan twisting plot ala Marvel Universe dan semua turunan Superhero lainnya.
Makanya ketika Marvel mengumumkan memulai mega proyek Marvel Universe dan DC Comics juga akan memulai proyek yang kurang lebih sama, yang ada di kepala saya, “Ampun lah ini, bakalan pusing nih ngikutin 'dunia' superhero.” Karena yang kebayang di kepala saya berapa banyak jagoan Marvel dan DC yang harus saya hapal.
Bagusnya baik Disney (yang memegang lisensi untuk Marvel Universe) dan Warner Bros. (untuk lisensi DC Comics), sadar kalo banyak yang akan merasa senasib dengan saya. Sehingga cerita yang dikembangkan emang bener-bener buat memuaskan orang awam, bukan fanboy atau fans garis keras Marvel atau DC.
Jadi bisa dibilang posisi saya aman. Saya akan selalu memposisikan diri saya sebagai penonton awam, yang berusaha mencari tahu segala sesuatu tentang jagoan yang akan saya tonton filmnya, sehingga saat nonton filmnya saya bisa sedikit-sedikit sombong sama teman-teman saya mengenai sedikit twist atau karakter kunci film tersebut.
Dan itu yang terjadi saat saya memutuskan untuk menonton film Deadpool saat rilis pertama kali tanggal 10 Februari kemarin. Memulai menonton Deadpool dengan ekspektasi akan menonton sebuah film laga ala superhero “sableng” seperti yang saya baca di semua literatur mengenai Deadpool.
Nggak ada harapan aneh-aneh tentang adaptasi komik atau apapun. Lagipula saya nggak berharap banyak terlalu banyak untuk cerita Deadpool. Biarpun diterbitin oleh Marvel, secara karakter Deadpool nggak sepopuler Wolverine, Spider-Man atau malah Iron Man.
Karakter yang diciptakan oleh Rob Liefeld dan Fabian Nicieza ini memang digambarkan sebagai kebalikan superhero (atau disebut “antihero”). Membunuh yang “haram” dilakukan seorang superhero, bisa dengan mudah dilakukan oleh Deadpool. Melakukan obrolan dengan mengumbar “F” word juga santai dilakukan oleh Deadpool. Jadi jangan heran kalo Lembaga Sensor Film sempet nggak meloloskan film ini. Rumor yang beredar malah ada 21 menit potongan film yang terbuang. Sampai pada akhirnya 20th Century Fox Indonesia, bela-belain bikin versi “soft” dari film Deadpool khusus untuk pasar Indonesia.
Tapi toh konsentrasi saya bukan untuk melihat bagian mana yang dipotong. Melainkan “hiburan” apa yang bisa saya dapatkan dengan semua cerita mengenai “potongan” dan adegan “gore” yang ditawarkan oleh Deadpool. Karena ya itu tadi.... Semua promo film Deadpool emang nggak jauh-jauh dari ngenyek dan satire.
Saya sudah terhibur ketika adegan awal dimulai (sori ya agak spoiler), “trademark” khas film Marvel di mana ada animasi sebuah komik yang halamannya terbuka dihiasi oleh lagu cinta tahun '90-an dan perkataan Deadpool (diperankan dengan sangat ngocol oleh Ryan Reynolds), padahal adegan selanjutnya adalah sebuah adegan yang menggambarkan pertempuran.
Apa yang saya bayangkan akan menjadi sebuah “antisuperheromovie” jadi kenyataan. Ryan Reynolds yang berperan juga sebagai produser film ini menyiapkan “kegilaan” dengan sangat baik. Hal itu dimulai jauh sebelum filmnya rilis. Tim promo Deadpool dengan sangat baik membuat meme, poster plesetan, sampai video yang nggak jauh-jauh dari mencela film lain atau superhero lain. Buat contoh gampang, tagline yang dipake Deadpool adalah: With Great Power Comes Great Irresponsibility. Padahal kalimat itu merupakan plesetan dari tag line Spider-Man, With Great Power Comes Great Responsibility. Pun begitu juga yang terjadi di filmnya. Misalnya adegan kala Wade Wilson (alter ego Deadpool) akan diubah menjadi seorang mutan. “Kalo gue jadi superhero, jangan kasih gue kostum warna hijau ya,” ucap Wade. Semua tahu kalo kostum hijau adalah kostum Green Lantern yang juga sempat diperankan oleh Ryan Reynolds.
Cerita film ini sebenarnya berfokus kepada usaha Wade Wilson (Ryan Reynolds), seorang tentara bayaran untuk selamat dari penyakit kanker stadium akhir. Demi menyembuhkan penyakit itu dia menerima tawaran dari Ajax (Ed Skrein) untuk masuk ke dalam program yang dibuatnya. Resiko yang harus diambil Wade adalah meninggalkan sang kekasih Vanessa (Morena Baccarin). Tetapi cerita simple kayak gini jadi nggak berasa karena humor dan adegan laga yang ditawarkan oleh Deadpool berasa intens banget. Karakter Deadpool dan Wade yang digambarkan banyak bacot alias cerewet abis bikin kita gregetan untuk tetap menunggu humor macam apa lagi yang ditawarkan selanjutnya.
Nggak sia-sia sih usaha Ryan untuk menjadikan Deadpool sebagai proyek khususnya. Bisa dibilang nggak ada yang lebih pas memerankan Merc with a Mouth selain Ryan. Sang sutradara Tim Miller juga patut mendapat kredit khusus. Kemampuan menerjemahkan karakter Deadpool yang ngocol, cerewet, dan doyan berinteraksi dengan pembaca komiknya (biasa disebut breaking the fourth wall) bisa dikemas dengan sangat rapi oleh Tim. Dia bisa dengan santai menyelipkan humor khas '90-an yang tetap membuat anak-anak remaja seperti kita tertawa tanpa perlu berpikir keras.
Dan tentunya jangan lupa untuk menunggu ending setelah credit title, mari pergi ke bioskop untuk tertawa bersama Deadpool dan memuaskan rasa penasaran kita.