Wow. Mungkin nggak pernah terpikir di benak para founder kami, majalah/brand yang mereka bangun di awal 1977 ini bisa bertahan sekian lama. Melewati beberapa kali krisis, baik internal, maupun eksternal. Pasang surut jaman dan tantangan antargenerasi yang walau mirip-mirip, tapi selalu berbeda pemecahannya.
Nggak pernah terpikir pula mungkin di benak mereka, bahwa dari yang tadinya sekedar penyaji informasi, HAI tumbuh dan berkembang menjadi media yang turut mewarnai sikap dan pola pikir sebuah generasi.
Mulai dari generasi yang cukup puas dengan komik, dan cerpen serta serial, berlanjut ke generasi yang mulai terbagi-bagi menjadi TV/movie-geek, music-maniac, game-freak, sport-fans, hingga generasi yang saking kenyangnya dengan informasi seakan sering kebingungan sendiri. Dan nggak puas hanya menelan, tapi juga harus ikut menentukan, informasi apa yang dibutuhkan.Baca:Jeroan HAI Tahun Kedua (1978)
Tiga puluh sembilan tahun. Fiuh. Kalau dipikir-pikir, itu rentang waktu yang cukup lama. Bayangin kalau rentang waktu itu dihabiskan buat lari terus menerus. Atau kalau diumpamakan mobil, entah sudah berapa ton liter BBM yang dikuras.
Toh, sampai sekarang, syukurnya, kami masih bisa bertahan. Berlari beriringan dengan teman-teman sekalian.
Sembari sekali-sekali memberi kejutan. Seperti misalnya Serial Imung, Kiki dan Komplotannya serta komik-komik impor macam Arad dan Maya, Kisah Ksatria Trigan, Roel Dijkstraa, juga Rahan yang cukup nempel buat teman-teman di masa-masa awal kami. Bahkan sampai sekarang ketika mereka sudah beranjak dewasa, semua itu juga menjadi bagian dari kenangan.
Di masa berikutnya di sector yang sama, fiksi, banyak teman lama kami yang mengaku dulu sangat mengidolakan sosok Lupus, juga Si Roy. Buat mereka, tokoh-tokoh yang sempat wara-wiri sebagai cerita serial ini sangat mewakili karakter dan mimpi-mimpi mereka saat itu.
Hilman dan Gola Gong, pengarang-pengarangnya sontak jadi idola baru bagi mereka. Mereka juga terinspirasi oleh guratan grafis bergaya “Marak Berkotak” karya Mas Wedha lalu menganggap Daus sebagai fotografer idola, lantaran pengalamannya meliput berbagai peristiwa musik baik lokal internasional, termasuk dua kali perhelatan Woodstock yang legendaris itu.
Tiga puluh sembilan tahun. Hmm...
Pastinya banyak cerita yang bisa dituliskan. Termasuk tentang beberapa kegiatan yang dimulai dari ide iseng-iseng lalu berkembang jadi lebih besar dari yang dipikirkan.
Salah satunya saat suasana Ibu Kota sedang panas-panasnya dilanda tawuran pelajar SMA, kami berinisiatif untuk menggelar HAI Informal Meeting. Mempertemukan para informal leader sekolah yang berseteru di sebuah forum untuk cari jalan keluar. Biar sesaat, tapi cukuplah untuk mendinginkan suasana saat itu.
Dari ide iseng-iseng sepulang kerja juga lahir apa yang disebut Fashion On The Street, sebuah pagelaran busana yang digelar dengan menutup jalan raya di depan Gedung Sate, Bandung. Juga rangkaian Pesta Pelajar HAI di beberapa yang konon jadi embrio pensi-pensi saat ini. Ada pulaThe Dreamband, talent-search/realityshow untuk mencari bakat-bakat musik baru di negeri ini untuk dijadikan band paling oke.
Sempat tiga tahun berturut-turut digelar, salah satu hasilnya saat ini adalah Kotak. Lalu nggak lupa rangkaian Skulizm, school-roadshow yang walaupun sudah menjelajah ke ratusan sekolah, masih akan tetap rajin menyambangi sekolah-sekolah di pelosok negeri ini. Juga tentu saja HAI Day yang sejak 2012 lalu mulai kami gelar.
Asal tahu saja, tadinya acara ini kami bayangkan sebagai hajatan ulang tahun sederhana. Tapi lantaran yang pengen ikutan merayakan cukup banyak, jadilah kami bikin dua hari dengan skala yang boleh dibilang sangat meriah.
Tiga puluh sembilan tahun.
Jujur saja kami bersyukur bisa menemani kamu hingga sejauh ini. Dan kami juga berterimakasih karena kamu masih mengijinkan kami buat menemani kamu. Harapannya tentu saja pertemanan ini nggak berhenti di sini. Tetap bisa berlanjut, hingga nanti, tiga puluh sembilan tahun ke depan. Atau bahkan lebih.
Amin!