Sembilan Tahun Bersama, The Maine Menolak Tua

Jumat, 04 Desember 2015 | 11:28
Hai Online

The Maine masih berjiwa

"Kami nggak takut dengan fakta kami sudah nggak muda lagi karena kehidupan yang kami jalani membuat kami merasa jauh lebih muda". Untaian statement tersebut keluar dari mulut Pat Kirch saat HAI tanya soal masa depan The Maine.

Memasuki tahun kesembilan mereka terbentuk, kuintet John (vokal), Jared (gitar), Kennedy (rhythm), Garret (bass), dan Patrick (drum) nggak lagi memandikan lirik-lirik cheesy. Apalagi menghadirkan aroma bland pop-punk seperti di album debut mereka, Can't Stop, Won't Stop.

Album terbaru mereka, American Candy bahkan terdengar jauh lebih politis. Terutama di trek terakhir, Another Night on Mars di mana The Maine memilih untuk bercerita tentang perjuangan mereka menarik atensi ketimbang terlena dengan isu percintaan.

Perubahaan besar pun juga terlihat dari penampakan para personel. Jika dulu John Callaghan akrab banget sama sama poni lempar panjangnya, kini yang ada hanyalah setelan klimis ala Matty Mullins atau Tyler Carter.

"Kami nggak tahu apakah kami sudah pantas dianggap dewasa karena faktanya semua member band ini masih punya sense of humor yang sama seperti dulu. Yang jelas sih, The Main bukan band yang nyaman dengan hal itu-itu saja. That would be very boring for us," tambah cowok yang masih mempertahankan rambut gondrongnya ini.

Changes may take place tapi nggak membuat The Maine turun kualitas sih. Dari segi sound bahkan proses kreatifnya sendiri, band yang bakal manggung di Monkeylada Festival, 29 November mendatang memberikan treatment layaknya album paling penting sepanjang sejarah mereka.

"Kami bangga dengan apa yang telah kami ciptakan karena album ini sebenarnya sangat timeless. Di sini, kami sebagai The Maine menemukan pakem sound yang bakal kami gunakan kedepannya. Dan kami yakin ini adalah album terpenting The Maine karena kami merasa seperti terlahir kembali," jelasnya.

Belajar Dari Kesalahan

Sebagian fans The Maine setuju kalau di album sebelumnya, Forever Hallowen, mereka nggak banyak main suasana. It was a lot darker than anything The Maine have ever released karena pendengar setia nggak bisa menemukan jati diri The Maine sendiri di album tersebut.

Sadar dengan reaksi fans, John cs pun memutuskan berembuk dan melakukan brainstorming apa yang mereka harus lakukan. Mereka ingin para listeners mendapatkan materi yang jauh lebih dewasa namun nggak keluar dari root The Maine sendiri yang mempertahankan alternative rock sebagai jalan mereka.

Sebuah rumah di daerah bergurun bernama Joshua Tree, dekat California dijadikan tempat bersemedi kelima personel The Maine. Dengan mendekatkan diri dengan alam, The Maine lantas berharap album kelima mereka terdengar jauh lebih memorable.

Tujuan lainnya jelas, agar semua prosesnya nggak terburu-buru dan mendapatkan kebebasan lebih. "Vibe-nya yang kami dapatkan di sana sungguh mengesankan. Kami memang mengurung diri di sebuah

gurun demi mendapatkan banyak inspirasi. Berkawan dengan banyak sekali kelinci dan binatang-binatang liar lainnya," ungkap sang gitaris, Jared.

Mood yang didapatkan pun lantas terjemahkan dengan baik dalam proses kreatif American Candy. Jika Forever Hallowen nggak banyak lagu-lagu yang upbeat dan jujur secara isi liriknya, di sinilah penebusan dosannya.

"Beberapa lagu di American Candy jauh terdengar lebih jujur ketimbang beberapa materi sebelumnya. Perbedaannya jelas. Forever Hallowen itu seperti album roller coaster, kadang naik dan kadang turun temponya. Sedangkan di sini, kamu bisa menikmati setiap lagu dari trek satu sampai terakhir secara mengalir," jelas sang pentolan, John.

Band Itu Keluarga

Sembilan tahun bukan waktu yang sedikit buat menyatakan komitmen. Bahkan, nggak sedikit band-band sejenis memutuskan bubar jalan karena sudah merasa bosan.

Kasus yang paling pas ya A Rocket To The Moon. Band yang dimotori oleh Nick Santino dan sukses menggebrak dunia dengan single-single galau seperti Like We Used To hingga Baby Blue Eyes ini memutuskan bubar karena mereka merasa sudah nggak satu pemikiran lagi.

Ini pun yang sempat menjadi kekhawatiran para fans The Maine. Walaupun faktanya, band ini adalah salah satu band skenanya yang masih kokoh dengan formasi aslinya, meski beberapa label musik telah mereka jelajahi.

Pada akhirnya, semua orang akan bertanya apa sih resepnya? Bagaimana mereka bisa survive selama sembilan tahun tanpa menemui titik jenuh? Jawabannya pun langsung dipaparkan oleh Pat.

"Kami tetap berlima dalam sembilan tahun terakhir dan saya pikir fakta kalau kami terus bersama adalah sesuatu yang bisa kami banggakan. We actually get along and enjoy hanging out together. Kami selalu berusaha menyempatkan waktu ngumpul berlima, walaupun sebatas nonton baseball saja," jelasnya.

Rasa kekeluargaan ini yang terus mereka pertahankan. Meski, secara individual, usia para member The Maine sudah mantang buat membina sebuah keluarga sendiri-sendiri.

Nggak heran sih, dari selera musik sampai kolaborasi impian, The Maine tetap satu misi. "Tom Petty bisa jadi kolaborasi impian. Kami ingin sekali bikin album bareng legenda seperti dia," beber Pat.

So, setelah lima album dan beberapa tur dunia, mau di bawa kemana The Maine selanjutnya? Emm, kayaknya patut kita tunggu karena nggak lama lagi, bakalan ada materi-materi baru yang fresh dari pelantun English Girl ini.

"Jujur, tiap kali album baru dirilis, kami langsung berpikir ke depan, mengerjakan materi baru. Memang akan terdengar terlalu dini tetapi tunggu saja!" tutupnya.

Editor : Hai Online