Panceg Dina Galur: Ujungberung Rebels (Part 2-Habis)

Senin, 11 Juli 2011 | 13:40
Rian Sidik (old)

Panceg Dina Galur Ujungberung Rebels Part 2 Habis

Baby Riots adalah sebutan anak-anak Ujungberung Rebels bagi pasukan tempur bentukan Butchex, pentolan band The Cruels dan Mesin Tempur. Awalnya, karena perkembangan Ujungberung Rebels yang semakin pesat secara kualitas maupun kuantitas, maka mulai terasa konflik dan gesekan dengan masyarakat sekitar.

Ujungberung yang berkultur industri dan merupakan daerah peralihan yang gantel -kampung bukan, kotapun bukan, melahirkan banyak komunitas lain yang serba tanggung dan kemudian lazim kita namakan preman. Mereka kurang senang melihat anak-anak Ujungberung dengan segala totalitasnya, wara-wiri di jalanan mulai dari Pasar Ujungberung hingga Jl. Rumah Sakit.

Bentrokan dengan preman-preman pun mulai terjadi. Awalnya hanya hangat-hangat tahi ayam, namun ketika semakin kompleks dan merambah ke kekerasan dan perkelahian, maka Ujungberung Rebels merasa harus membuat pasukan sendiri yang di dalamnya terdiri dari mesin-mesin tempur berdaya ledak tinggi. Maka terbentuklah Baby Riots.

Baby Riots tak lantas hanya berperan sebatas mesin tempur. Mereka juga ngeband dan menghasilkan banyak karya. Band-band punk Ujungberung asuhan The Cruels adalah beberapa di antaranya, selain juga metalhead-metalhead muda yang gejolaknya selalu membara. Musikalitas dan attitude mereka juga tak diragukan lagi.

Musikalitas pula, serta berbagai pencapaian mereka, yang semakin mengokohkan eksistensi anak-anak Ujungberung Rebels. Berbagai rekaman dirilis di komunitas ini dan mewarnai dinamika pergerakan msik metal bawahtanah di Indonesia. Beberapa band sempat dirilis di luar negeri seperti Jasad yang dirilis di Amerika dan Forgotten di Jerman dan Eropa Timur. Pencapaian fenomenal lainnya jelas diraih Burgerkill yang kemudian menjebol label besar, Sony Music Indonesia untuk kontrak enam album, sekaligus mendapatkan penghargaan prestisius di bidang musik dalam ajang Anugerah Musik Indonesia 2004 dengan menyabet kategori Best Metal Production untuk albumnya Berkarat.

Belakangan, Burgerkill meninggalkan label besar mereka setelah merasa tak bisa lagi jalan bersama. Ini pula yang menjadi titik lahirnya label Revolt! Records yang menaungi album ketiga Burgerkill, Beyond Coma and Despair. Album ini sangat sukses dan fenomenal dalam pencapaian Burgerkill, dan jelas komunitas Ujungberung Rebels.

Berbagai kritik positif dan penghargaan datang menyambut album ini. Band ini kemudian melakukan tur Asia dan Australia, termasuk tampil di dua festival besar tingkat dunia, Soundwave festival dan Big Days Out. Burgerkill memang layak mendapatkan itu, setelah sebelumnya mereka membayar dengan harga yang sangat tak terhingga mahal: meninggalnya sang vokalis, Ivan Scumbag, Begundal Hardcore Ugal-ugalan.

Kuatnya para musisi Ujungberung dalam memegang prinsip, membuat komunitas ini tetap hidup dan dinamis hingga sekarang. Idealisme itu kemudian mereka manifestasikan dalam pergelaran-pergelaran musik yang mereka garap sendiri. Pada akhirnya membuaka ruang juga untuk musisi-musisi di luar Ujungberung untuk ikut berpartisipasi dalam dinamika Ujungberung Rebels. Empat pergelaran musik yang khas Ujungberung Rebels selain event legendaris Bandung Berisik, adalah Rebel Fest, Rottrevore Death Fest, Bandung Death Fest, dan Serak Metal Fest. Yang menarik, dari pergelaran ini adalah fakta bahwa pergelaran menjadi salah satu ajang regenerasi komunitas Ujungberung Rebels.

Di pergelaran Bandung Berisik V 11 Juni 2011 kemarin, mayoritas yang bergerak menggarap event yang dihadiri 40.000 metalhead dari seluruh Indonesia ini adalah anak muda semua. Sebelumnya, pada tahun 2004, Bandung Berisik IV tercatat oleh Majalah Time Asia sebagai pergelaran musik bawahtanah terbesar se-Asia setelah berhasil mengumpukan massa hingga 25.000 audiens.

Fenomena lainnya adalah pergelaran Bandung Death Fest (BDF) yang mulai digarap tahun 2006 dan terus bergulir hingga kini serta menginspirasi berbagai kota lain di Indonesia untuk juga melakukan hal yang sama. Tercatat, tahun 2011 BDF sudah digelar empat kali, dan November ini akan kembali digelar BDF V. Patut dicatat juga, BDF sejak tahun 2008 kemudian menjadi acara tahunan forum komunitas kreatif Kota Bandung, Bandung Creative City Forum bersama degan puluhan acara lain yang bertema kota kreatif.

BDF juga menjadi gerbang persinggungan Ujungberung Rebels dengan kelompok Kasundaan dan kelompok-kelompok kampung adat Sunda dan Indonesia pada umumnya. Dengan mengusung kebanggaan lokal berupa lambang dua kujang bersilang dan semboyan Panceg Dina Galur Moal Ingkah Najan Awak Lebuh (Kokoh pada Komitmen, Tak Akan Beranjak Walau Badan Hancur) yang diambil dari kearifan lokal Sunda, Ujungberung Rebels kemudian semakin kental bersentuhan dengan musisi-musisi tradisional.

Salah satu yang juga menjadi fenomenal adalah aktivitas mereka dalam melestarikan dan mengembangkan musik karinding. Kini, yang menjadi fenomena baru di ranah kreativitas musik Kota Bandung adalah munculnya band Karinding Attack yang mencoba mengeksplorasi karinding, celempung, suling, toleat, dan goong tiup, melalui pola-pola musik modern. Band ini terus merangsek dengan melakukan berbagai kolaborasi bersama band-band top seperti Burgerkill, Sarasvati, pianis jazz Sony Akbar, Donor Darah, Kelas Ajag, LSS ITB, band hiphop Eye Feel Sick, komunitas beatbox, hingga mengeksplorasi musik elektronik bersama Open Labs.

Hal lain yang digarap Karinding Attack adalah membuka Kelas Karinding (Kekar) gratis di Common Room, Gedung Indonesia Menggugat, beberapa sekolah menengah atas, dan kampus untuk mewadahi siapa saja yang berminat belajar bermain karinding. Hingga kini, murid kelas karinding sudah mencapai enam puluh orang dan menghasilkan setidaknya empat band karinding baru yaitu, Karinding Merinding, Karinding Air Mata, Flava Madrim, dan Karinding Riots.

Dinamika pergerakan Ujungberung Rebels semakin menggurita saja dari hari ke hari. Kini setidaknya ada tiga lahan garapan ekonomi kreatif yang berkembang di komunitas Ujungberung Rebels, yaitu fesyen, rekaman, dan literasi. Yang paling subur adalah industri fesyen. Setidaknya ada enam industri fesyen yang digagas para pentolan Ujungberung Rebels, mulai dari Media Graphic dan distro Chronic Rock yang dijalankan Eben, Distribute yang dijalankan Pey, Reek yang dijalankan Ferly dan Man, Melted yang dijalankan Amenk dan Andris, CV Mus yang dijalankan Mbie, serta Scumbag Premium Throath yang ini diteruskan Erick sepeninggal Ivan.

Di bidang industri rekaman, Ujungberung memiliki dua perusahaan rekaman yang sangat dinamis, Rottrevore Records yang dijalankan Rio dan Ferly serta Revolt! Records yang dijalankan Eben. Rottrevore bahkan memiliki media literasi berupa majalah metal kencang bernama Rottrevore Magazine. Pentolan Ujungberung lainnya yang aktif di dunia literasi adalah Iit dengan toko buku Omuniuum-nya serta Kimung dengan zine MinorBacaanKecil dan penerbitan Minor Books yang menerbitkan biografi Ivan, Myself : Scumbag Beyond Life and Death, sebuah buku fenomenal, bagian dari trilogi sejarahUjungberung Rebels dan Bandung Underground.

Tentu selain tiga lahan garapan tersebut, masih banyak yang lainnya seperti bisnis warnet yang dikelola Kudung atau toko musik atau sentra kuliner. Semua lahan garapan pentolan-pentolan anak-anak Ujungberung Rebels tersebut jelas membuka lebar perbaikan perekonomian minimal di kalangan internal Ujungberung Rebels sendiri.

Satu hal lagi yang semakin mempererat Ujungberung Rebels adalah adanya kesadaran literal akan kesejarahan bersama. Bersama, para pionir dan semua yang hidup di ranah musik ini menyadari bahwa hal paling dasar untuk mengikat persatuan antar mereka adalah penulisan sejarah yang sama mengenai diri mereka sendiri. Kepenulisan sejarah ini kemudian digarap oleh Kimung melalui buku biografi Ivan Burgerkill, Myself Scumbag Beyond Life and Death (Minor Books, November 2007), serta tiga seri buku Panceg Dina Galur Ujungberung Rebels: Memoar Melawan Lupa (Minor Books, Februari 2011), Jurnal Karat (Minor, rencana Juli 2011), dan seri penutup Panceg Dina Galur Ujungberung Rebels (Minor Books, rencana September 2011).

Kepenulisan sejarah ranah musik independen Bandung juga tidak berhenti di situ. Dengan komitmen menjaga kisah sejarah ranah ini, Kimung dan kelompok risetnya Bandung Oral History juga mempersiapkan sejarah musik bawahtanah Bandung dengan judul Bawahtanah Bandung 1990-2015. Buku ini akan terdiri dari tujuh seri buku yang mencakup sejarah ranah musik metal, punk, hardcore, pop dan musik elektronik, hiphop, literasi, serta ranah-ranah kreativitas lain di bawahtanah Bandung antara tahun 1990 hingga 2015. Kepenlisan buku ini akan digarap tahun 2012 hingga tahun 2015.

Segala pencapaian itu tak datang dengan sendirinya. Segala datang bersama daya konsistensi yang sangat tinggi dan idealisme yang teguh digenggam satu tangan, sementara tangan yang lain menghajar jalanan dengan senjata kreativitas. Tapi kunci dari segalanya adalah keteguhan prinsip. Panceg dina galur, tidak gamang menghadapi perubahan. Membaca segala perubahan sebagai kulit saja bukan sebuah inti, sehingga ketika harus menyesuaikan diri dengan perubahan tak lantas kehilangan diri tenggelam dalam euforia di permukaan.

Ini juga harus terus dikelola dengan sinergi yang positif di antara lahan-lahan garapan kreativitas sehingga akan terus berkembang dan pada gilirannya menyumbangkan hal positif bagi masyarakat kebanyakan. Sebuah sentra bisnis dan pusat pengembangan budaya di Ujungberung pasti akan menjadi wadah yang menampung segala aspirasi dan hasil kreativitas mereka menuju totalitas yang paling maksimal. Mininal gedung konser yang di dalamnya terdapat juga youth center, dan pusat dokumentasi dan pengembangan riset sosial budaya yang memadai. Berangan-angan? Tidak juga! Panceg Dina Galur!

Editor : Rian Sidik (old)