Kemegahan yang ada ternyata harus mengorbankan masyarakat yang sebenarnya belum siap untuk menyambut tamu-tamu dari negara lain. Bukti sudah di depan mata, masih banyaknya tindak kejahatan yang dilakukan warga lokal, membuat iklim piala dunia kali ini sangat berbeda.
Selain itu, kondisi internal kehidupan masyarakat juga masih memprihatinkan. Contoh nyata adalah masih adanya perkampungan miskin yang tepat berada di belakang stadion mewah, Soccer City Stadium di kawasan Soweto, Johannesburg.
Perkampungan padat penduduk ini disebut sebagai rumah apartheid, karena memang penghuninya adalah orang-orang kulit hitam yang dulu harus hidup terpinggirkan dari kota Johannesburg. Sistem rumah tinggal seperti tersebut seperti tidak masuk akal jika dibandingkan dengan pembangunan stadion supermegah. Apalagi, lokasinya hanya sepelemparan batu dari Soccer City dan Ellis Park.
Perkampungan dengan rumah apartheid ini terletak di pinggir jalan raya utama yang menghubungkan Soweto dan Johannesburg. Lokasinya tidak jauh dari monumen Hector Peiterson, dan memang tidak terlihat langsung dari Soccer City Stadium karena tertutup bekas tambang raksasa.
Semua rumah berdinding coklat tua, saling berdempetan dan hanya terdiri dari dua kamar saja. Nyaris tak ada halaman dan jeda di antara rumah-rumah tersebut. Masyarakat yang tinggal di situ pada umumnya adalah pekerja kasar, meski ada juga yang sukses mengembangkan rumah mereka ke atas.
"Itu adalah rumah yang memang dijadikan tempat pengusiran masyarakat kulit hitam yang dulu berada di tengah kota. Tidak manusiawi karena semuanya serba terbatas. Bisa Anda bayangkan, nyaris tidak ada jarak antara ruang tamu, kamar, kakus sampai dapur. Sebuah ironis yang sepertinya tidak diperhatikan pemerintah, dan ini bisa menjadi masalah sosial setelah piala dunia," tutur Keinz, seorang guide.
Foto: Getty Images/ Alexander Joe