Bioskop dari Zaman Kuaci dan Kutu

Jumat, 30 Maret 2012 | 07:45
Adhie Sathya

Bioskop dari Zaman Kuaci dan Kutu

"Kalo nonton film di bioskop jangan pake sandal." Ini jokeszaman bokap-nyokap kita masih remaja. Jokes? Iya, karena ketika ada yang tanya "Kenapa?", maka jawabannya adalah: "Karena nonton film di bioskop harus pake duit, bukan sandal."

Tapi sungguh, asas harus tampil rapi dan sopan - karena memakai sandal nggak masuk kriteria rapi - masih banyak dipegang anak muda pada era 70-80-an. Aturan nggak tertulis itu terutama berlaku di bioskop kelas atas. Misalnya kalau di Jakarta, yang masuk dalam kriteria bioskop kelas atas pada tahun 70-an adalah Djakarta Theater di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat atau di New Garden Hall di Blok M, Jakarta Selatan.

Di Jakarta dan kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Yogya atau Surabaya memang ada semacam pembedaan kelas bioskop. Indikator beda kelas itu antara lain ditunjukkan oleh fasilitas. New Garden Hall misalnya, sering jadi tempat ngadem anak-anak SMAN 6 yang sekolahnya berseberangan. Adem karena pakai AC. Kebanyakan bioskop pada masa itu hanya pakai kipas angin belaka.

Fasilitas lebih juga ditunjukkan dengan kursi empuk seperti masa sekarang - kemudian menjadi stadar pada era 'sinepleks 21" sejak tahun 1987. Sementara di bioskop kelas bawahnya, hanya pakai kursi berlapis kulit sintetis dengan ruang pengap sisa asap rokok.

Lha bicara soal kursi, pada era sebelumnya kebanyakan bioskop masih banyak yang memakai kursi kayu beranyam rotan. Kursi model begini potensial membuat - maaf ya - pantat dan sekujur badan jadi bentol-bentol. Gatal. Pasalnya anyaman rotan ternyata menjadi sarang bagi kutu busuk yang sering diistilahkan sebagai "bangsat" atau di Bandung orang lebih familiar menyebutnya dengan tumila.

Nah, tentu ada beberapa konsekuensi atas fasilitas dan kenyamanan. Untuk bioskop kelas atas, jelas harga tiket lebih mahal. New Garden Hall atau Djakarta Theater misalnya pasang tarif sekitar Rp 2.500 hingga Rp 5.000. Kelas di bawahnya, sekitar Rp 1.000- Rp 1.500. Sedang yang lebih bawah lagi paling banter Rp 300-Rp 500. Sebagai bayangan, tarif bus masa itu antara Rp 10 - Rp 15 dan kemudian naik ke Rp 25.

Entah bagaimana hubungannya antara kemampuan dan perilaku, yang jelas perilaku penonton di bioskop kelas menengah-bawah lebih "bebas". Boleh ngerokok. Ada yang meludah sembarangan. Ada juga yang suka seenaknya mengangkat kaki ke senderan bangku di depannya. Perilaku macam begini memang bukan hanya terjadi pada masa 70-an. Sejarahnya sudah dimulai hampir berbarengan ketika bioskop untuk pertamakali ada di Indonesia.

Editor : Adhie Sathya