Sejak Lara Croft: Tomb Raider dirilis pada 2001 lalu, Hollywood belum lagi bisa memproduksi film action yang mengangkat sisi heroisme seorang wanita. Sampai pada 2012 lalu, Lionsgate memberanikan diri melepas The Hunger Games, sebuah film adventure remaja yang diadaptasi dari novel karya Suzanne Collins.
Dengan dua instalasi sekual dalam empat format film, The Hunger Games ini langsung disambut baik oleh Box Office. Terbukti dari dua seri film termasuk, Catching Fire, THG sukses meraup total pendapatan USD 1,5 miliar di seluruh dunia.
Yap, adalah penokohan yang tajam jadi kekuatan film garapan sutradara Gary Ross tersebut. Terutama yang didapuk oleh karakter utamanya, Katniss Everdeen.
Dibesarkan dalam sebuah lingkungan yang mencekam di kawasan District 13, ia digambarkan sebagai karakter yang penuh tanggung jawab. Bahkan, sang pemeran, Jennifer Lawrence mengaku cukup terbebani saat memainkan karakter Katniss.
"Aku bahkan terus menggenjot fisikku hingga matang sebelum terjun ke tempat syuting. Karakter yang keras dan pemberontak membuatku sadar ini adalah peer yang berat buat dikerjakan," ucapnya.
Sisi kerasnya makin menjadi saat ia dihadapkan dengan ajang The Hunger Games. Menggantikan adiknya, Katniss berusaha tegar meski ia nggak rela berpisah dengan keluarga, termasuk ibunya yang mengalami depresi akibat kematian sang ayah.
Seperti di dalam novelnya, Katniss bukan seorang pembunuh ulung. Ia terlatih menjadi seorang kesatria karena kondisi yang mengharuskannya untuk bersikap keras demi bertahan di medan tempur.
Namun, karakter alami Katniss hilang saat di film kedua. Rekan sejawatnya, Peeta Mellark lah yang menjadi alasan karakter Katniss kehilangan ketajaman lantaran ia mulai dianggap sebagai sesuatu yang lebih berharga ketimbang nyawanya sendiri.
Sebagian besar alur yang dituangkan ke dalam film ini cukup kompleks. Sayang, di film kedua, nggak banyak twist yang bisa dihadirkan oleh sang sutradara karena keterbatasan ruang untuk berbicara.
Pada film pertama, banyak sekali twist yang memang sudah ditunggu-tunggu para penggemar. Salah satu yang paling menarik perhatian saat Katniss berusaha melakukan bunuh diri bersama dengan memakan buah berancun di akhir film.
Tujuannya untuk menipu para pengawas The Hunger Games. Twist serupa sebenarnya juga dimunculkan di akhir film ketika Katniss berhasil membongkar kebohongan arena The Hunger Games dengan melemparkan sebuah tombak.
Sayang, sang sutradara kurang memberikan klimaks di akhir. Alhasil, film kedua terkesan sangat menggantung dengan meninggalkan Katniss tanpa klu apapun.
Namun, Ross sadar kok sejak awal ia ingin membawa para penonton ke dalam alur sebenarnya yang ada dinovel. Tetapi ia juga harus memastikan plotnya memiliki koneksi dengan visual para penonton.
Jadi, kecuali film pertama, The Hunger Games yang mengalir saja. Obstacle yang dimunculkan semena-mena menggiring para penonton untuk merasakan apa yang dihadapi oleh Katniss dan kawan-kawan.
Jika alur agak sedikit bermasalah, maka sang sutradara mematangkan cara ia menghadirkan kedua film tersebut secara visual. Ross menggunakan jasa dari Tom Stern yang sukses dengan film-film Box Office lainnya.
Tapi, publik mencatat ada error cinemotography yang terjadi, khususnya pada film pertama. Yang pertama soal aturan angle 180 derajat, khususnya saat pengambilan adegan berlari.
Sang sutradara terkesan memaksam mengambil gambar menggunakan empat kamera yang sebenarnya nggak bisa dijangkau lensa. Seperti pada adegan Katniss berpisah dengan sang adik, Primrose di film pertama.
Dalam adegan tersebut, Primrose yang berada di kiri coba berbicara dengan Katnis yang berada di kanan layar kaca. Namun saat Katniss akan menyerahkan bros Mockingjay, kedua posisinya berubah drastis.
Ross sama sekali tidak memerhatikan kemana kamera harus mengarah. Karena, ketika aturan angle 180 derajat dilanggar, efek negatifnya saat film sudah jadi bakal sangat fatal.
Namun, terlepas dari beberapa kecatatan tersebut, kualitas sinematografi dengan sedikit green screen patut diacungi jempol. Ini yang jadi acuan di film ketiga bakal lebih baik.