Tenggelamnya Kapal Van der Wijck : Hati-Hati Cinta Mati

Jumat, 10 Januari 2014 | 03:33
Hai Online

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck Hati Hati Cinta Mati

Kisah anak muda yang merantau memang banyak difilmkan oleh kita (orang-orang Indonesia), bukan? Nggak terkecuali dengan "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".

Kisah Zainuddin (Herjunot Ali) ini salah satunya. Zai yang lahir dan besar di Makassar, nggak pernah melupakan akar keluarganya yang berdarah Minang. Begitu tiba waktunya, ia pun merantau ke dusun Batipuh. Sebenarnya dalam rangka menuntut ilmu, sambil mencari kembali sisa-sisa jati diri keluarganya.

Tapi takdir berkata lain, Zai kemudian bertemu dengan Hayati (Pevita Pearce), gadis nan elok menawan, kembang desa dari dusun Batipuh, tempat dimana Zai menuntut ilmu. Dari sini, nostalgia menyampaikan rasa suka ke lawan jenis lewat surat demi surat amatlah nyata. Kemampuan menulis Zai pun nggak perlu diuji. Dia memang berbakat menulis hikayat cinta.

Kalau diperhatikan, kisahnya memang klasik. Tapi menonton film yang diadaptasi dari novel besar karya Buya Hamka dengan judul yang sama ini, kita bakal belajar kembali menggunakan bahasa sastra klasik_lengkap dengan ejaan lama yang belum disempurnakan. Hitung-hitung belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia, kita juga belajar bagaimana menghargai sebuah sumpah cinta tatkala disampaikan kepada seseorang yang sudah berkomitmen menjaga hati kita.

Tapi begitulah kisah cinta nan klasik. Saat tiba orang ketiga yaitu Aziz (Reza Rahadian), pemuda kaya raya yang katanya dari keluarga baik-baik itu menggoyahkan keteguhan Hayati. Ketiga tokoh ini pun berkutat dalam ruang kisah cinta yang membuat hati siapa saja merinding menyaksikan kesungguhan, pengorbanan, kerelaan, kehancuran, bahkan kasih sayang abadi dari masing-masing mereka. Sebab orang baik, orang jahat, pun jelas sekali diperlihatkan dalam film karya Sunil Soraya itu.

Dengan naskah yang dibuat bersama oleh Riheam Junianti, Donny Dhirgantoro dan Imam Tantowi, wajar kalau ruh novel tersalurkan dalam visualisasi film berdurasi 2 jam lebih tersebut.

Tapi bagi Zai muda, sebenarnya tak perlu berperan sebegitu kuat memeragakan dialog laksana Buya Hamka di usia lanjut. Ini akan sama halnya dengan dialog dan intonasi Habibie yang saat muda sampai dewasa begitu-begitu saja tak berubah . Begitu pun bahasa dan intonasi Zai muda sampai dewasa sama sekali tak terlihat perbedaannya. Adegan hayati melepas kerudung jiwa-nya pun sepertinya mudah saja, padahal kerudung itu adalah azimat pribadi yang disumpahkannya kepada Zai. Bahkan sebagai penuntut ilmu agama, Hayati mudah mengubah dirinya berdandan ala Belanda.

Tapi bagaimana pun itu, pada akhirnya kita_sebagai penonton ,mendapat banyak pelajaran soal menjaga hati dan komitmen akan sebuah sumpah kita. Pada diri, kekasih, atau pada Tuhan dengan segala peraturan dan laranganNya.

Hidup Buya Hamka (Zai) yang lurus dapat dicontoh. Sikap lelakinya patut diacungi jempol. Meski dalam film ini, entah dnegan apa, Zai harus mendekatkan bibirnya pada Hayati, dimana ia pun sebenarnya telah berjanji tak akan memakan buah sisa, apalagi dalam rangka amanah dari sahabatnya sendiri.

Tapi dari semua itu, kita diingatkan lagi untuk setia pada sumpah, dan cinta mati. Zai sudah membuktikannya. Selain buku-buku karangannya yang popular, ia terkenal begitu kukuh menjaga "Permata"-nya yang sempat hilang menjadi "Permataku"-nya yang abadi dalam cerita Tenggelamnya Kapal van der Wijck.

Maka tidak perlu lagi mengulas buruknya visual kapal dalam film tersebut, lebih baik menghayati lagu (Nidji) yang menyayat hati, apalagi dikaitkan dengan adegan sumpah-sumpah indah dan cinta mati Zai dan Hayati. Berhati-hatilah menjaga itu, jangan sampai ia menenggelamkan-mu dalam lautan perasaan yang tak menentu. Jangan risau, jangan galau, tapi kuatkan saja iman.

Editor : Hai