Soekarno, Kisah Cinta dalam Perjuangan Bung Karno

Sabtu, 28 Desember 2013 | 17:53
Rian Sidik (old)

Soekarno Kisah Cinta dalam Perjuangan Bung Karno

Jangan heran, ketika tiba-tiba kita diwajibkan berdiri untuk menghormati lagu Indonesia Raya yang diputar tepat sebelum film dimulai. Jangan merasa aneh dan bingung, karena film yang berkisah tentang perjalanan hidup presiden pertama Indonesia ini akan menjelaskan secara lembut alasan tersebut.

Sesuai judulnya, film yang dipadatkan dalam durasi tiga jam ini bercerita tentang kisah hidup Sang Proklamator, baik alasan penggantian nama dari Kusno menjadi Soekarno, serta alasan awal perjuangan Soekarno meraih kemerdekaan, yang ternyata berawal dari tuntutan persamaan hak dan kedudukan, serta kegalauannya melihat kemiskinan di tanah airnya.

Mungkin pada 10 menit pertama film dimulai, film ini masih belum terasa geregetnya karena cerita yang disajikan masih berupa rangkuman dari kehidupan awal Bung Karno. Film ini mulai menarik ketika kita mulai disuguhkan tentang lika-liku kehidupan percintaan Bung Karno yang memiliki daya tarik tersendiri dari keseluruhan kisah hidupnya.

Mungkin belum banyak yang tahu, bahwa pada kehidupan remaja seorang Soekarno, ia pernah menjalin kasih dengan gadis Belanda, yang gagal karena perbedaan status. Dan mungkin juga belum banyak yang tahu bahwa Inggit Garnasih, istri pertama Bung Karno yang berumur lebih tua darinya, memiliki andil besar dalam perjuangannya. Kita juga akan diceritakan bagaimana awal mula benih-benih cinta bermunculan antara Soekarno dan Fatmawati, yang juga menjadi pemecah hubungan harmonis antara Soekarno dan Inggit. Pada masa-masa inilah kita akan melihat masa-masa galau Bung Karno, yang begitu terlihat lemah karena cinta.

Tetapi bukan itu inti cerita film ini. Kita akan melihat bahwa baik dalam masa kolonialisasi Belanda maupun masa pendudukan Jepang, Soekarno adalah tokoh penting dan berbahaya bagi mereka. Upaya perjuangan kemerdekaan bangsa ini selalu berpusat padanya. Tetapi kisah dalam film ini tidak melulu terasa serius. Hanung memberi jeda bagi bulu roma agar beristirahat sebentar dengan memberi kita tawa melalui kehadiran Aa Gym palsu, alias Argo, yang berperan sebagai Sukarni, yang kerap melakukan hal-hal aneh dan konyol. Sujiwo Tejo juga punya andil dalam menebar tawa di film yang cukup serius ini.

Film dengan budget 25 milliar rupiah ini benar-benar digarap dengan serius dengan hasil yang sangat memuaskan. Kesalahan-kesalahan kecil yang muncul seperti, pengejaan yang salah, Tentara Gurkha yang tidak terlihat seperti orang India dan aksen Jepang yang dipaksakan sama sekali tidak perlu dihiraukan. Hanung pun berhasil memilih aktor-aktris yang sesuai untuk memerankan tokoh-tokoh legenda tersebut. Ario Bayu pantas mendapat pujian atas kerja kerasnya mempelajari gerak-gerik Sang Proklamator dan cara beliau berpidato. Yang perlu disayangkan adalah tidak adanya penjelasan siapa menjadi siapa saat film tengah berlangsung, seperti yang biasa ada pada film-film biografi dan bersejarah. Jika mereka tidak menyebutkan nama atau diperkenalkan oleh tokoh lainnya, kita mungkin tidak akan tahu bahwa ia adalah Latief Hendraningrat, Wikana, atau lainnya.

Secara keseluruhan, film ini berhasil menghidupkan teks-teks sejarah dalam bentuk visual yang menegangkan dan mengharukan. Durasinya yang panjang membuat kita sadar, bahwa menceritakan Soekarno sama dengan menceritakan sejarah bangsa ini, bangsa Indonesia.

Editor : Rian Sidik (old)