Saat otak lebih bekerja daripada otot, maka pemimpin sekelas Toyotomi Hideyoshi pun dapat ditemui. Bukan hanya dalam karya sejarah atau sastra Jepang seperti dalam buku "The Swordless Samurai" ini, tetapi pada masa kini pun bukan sesuatu yang mustahil. Apalagi jika setidaknya, para calon pemimpin di negeri ini bisa belajar_lagi_ dari seorang pemimpin legendaris Jepang Abad XVI.
Adalah Hideyoshi, seorang dari keluarga miskin di Nagoya, dengan perawakan tubuh yang pendek, tidak berpendidikan, dan berwajah seperti kera dengan daun telinga besar, mata yang dalam dan wajah merah serta keriput persis seperti apel kering, ia pun mendapat julukan "Monyet" seumur hidupnya.
Tapi bukan Hideyoshi namanya jika ia bersembunyi di balik beberapa kekurangannya. Justru dengan apa yang ia miliki, ia selalu menyukurinya. Ya, jiwa pemimpin sudah melekat di tubuhnya sejak ia menjadi "monyet" kecil.
"Pemimpin harus bisa bersyukur", itu adalah salah satu kunci kesuksesan seorang Hideyoshi. Tanpa bermaksud membongkar isi buku ini secara gamblang, pembaca sepertinya bakal asik menelusuri kisah perjalanannya. Dari awal buku ini saja, sudah cukup menakjubkan bagi penulisnya. Tertulis di bab awal Hideyoshi mengatakan, "Aku tidak mahir dalam seni berpedang. Bahkan ronin kelas tiga sanggup mengalahkanku dalam perkelahian jalanan. Aku sadar aku harus lebih menggunakan otak daripada tubuh, khususnya jika aku ingin kepalaku tetap menempel di leher."
Ya, dari salah satu kutipan kisah Hideyoshi, poembaca akan mendapat puluhan lagi pelajaran berharhga bagaimana menjadi pemimpin yang mengandalkan pemikiran, strategi, dan pendekatan emosional pemimpin. Dengan keuletannya mengejar apa yang diimpikan, tokoh Hideyoshi akhirnya mampu menggenggam apa yang diinginkannya.
Maka jika selama ini pembaca mencari buku-buku yang "mengajarkan" soal kepemimpinan_tetapi dengan tidak menjenuhkan, secara praktis buku ini mampu menjawabnya. Meski tidak secara taktis ditunjukkan caranya, dari apa yang dilakukan Hideyoshi, para pembaca dapat mengurai, menarik, bahkan mengunci pelajaran di dalamnya, tentu dengan kemampuan nalar masing-masing pembaca. Sebab, sekali lagi apa yang dilakukan Hodeyoshi dalam berperang dan menjalani hiduopnya, itu semua dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan masa kini. Untuk berbisnis, untuk menjadi pemimpin yang mengandalkan kecerdasan.
Membaca buku yang dituliskan Kitami Masao, dan kemudian diterjemahkan oleh Tim Clark (edisi bahasa Inggris), serta kini dialih-bahasakan oleh Mardohar dari Pustaka Inspira, maka pembaca dapat merasakan kejujuran dari tokoh Hideyoshi ini. Di akhir misalnya, saat seorang pemimpin ini berada di puncak kekuasaannya, ia mengakui keterlenaannya pada saat di atas angin. Alhasil stabilitas sebagai pemimpin pun sempat mengalami kegoncangan.
Tapi penulisnya mampu mengungkap kalau Hideyoshi pun menyadari kekurangannya itu. Maka, di akhir penulis sepakat untuk menyampaikan kalau seorang pemimpin pun harus mampu menjaga keseimbangannya, dan menjaga kemampuan berfikirnya sehingga emosinya tetap dapat terkontrol. Tim Clark menulisnya 'Kekang Obesimu', maka dari sana pembaca pun diajak untuk bersiap bukan hanya saat zero from hero, tapi saat a hero to be a superhero. Kita yang perlu menjaga kemampuan kita dalam memimpin diri kita sendiri.