Sang siswi yang berusia 16 tahun itu disebut mengalami depresi hingga mengurung diri di dalam kamarnya diduga karena dipaksa menggunakan jilbab.
Pendamping siswi, Yuliani bercerita jika sang siswi sempat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dan ia tidak menggunakan jilbab.
Pada waktu itu, ia juga masuk seperti biasa di hari pertama sekolah yakni pada 18 Juli 2022.
Namun 19 Juli 2022, ia dipanggil ke ruangan Bimbingan dan Konseling (BK) dan ditanya alasan tak mengenakan jilbab.
Baca Juga: Ketahun Lagi, Dua Sekolah Negeri di DKI Diduga Paksa Siswi Pakai Jilbab
"Menurut keterangan WA di saya ini, anak itu dipanggil dan diinterogasi tiga guru BP, bunyinya itu kenapa nggak pakai hijab? Dia sudah terus terang belum mau," jelas Yuliani menceritakan lagi kasus itu di kantor Ombudsman Perwakilan Yogyakarta, Jumat (29/7/2022) lalu.
Masih menurut Yuliani, siswi tersebut merasa dipojokkan karena terus ditanya terkait alasannya tak mengenak jilbab.
"Bapaknya udah membelikan hijab tapi dia belum mau. Itu kan enggak apa-apa, hak asasi manusia," tuturnya.
Di ruang BK tersebut salah satu guru mencoba mengenakan jilbab yang dimaksud ke kepala siswi tersebut.
"'Lha terus kamu kalau nggak mulai pakai hijab mau kapan pakai hijab, gitu?' Nah itu sudah. Gurunya makein ke si anak itu. Itu kan namanya sudah pemaksaan," tutur Yuliani mengulang pertanyaan yang dilontarkan kepada siswi ini.
Merasa terpojokkan, siswi ini minta izin ke toilet. Di dalam toilet ini, siswi tersebut menangis selama kurang lebih 1 jam.
"Izin ke toilet kok nggak masuk-masuk kan mungkin BP ketakutan terus diketok, anaknya mau bukain pintu dalam kondisi sudah lemas terus dibawa ke UKS. Dia baru dipanggilkan orangtuanya," ucapnya.
Pada 25 Juli 2022, siswi tersebut masuk sekolah, namun ia pingsan saat upacara. Sayangnya peristiwa tersebut tak diberitahukan ke orangtuanya.
Sejak saat itu, siswi tersebut terus mengurung diri di dalam kamar dan tidak mau makan.
Baca Juga: Lagi, Seorang Siswi SMA Negeri Diduga Dipaksa Pakai Hijab di Sekolah, Kini Mengurung Diri & Depresi
Yuliani mengaku ia sempat meminta Dinas Pendidikan Bantul agar dipertemukan dengan pihak sekolah.
Saat itu dua guru BK yang datang dan keduanya tak mau bertanggungjawab.
"Seolah-olah dia mengambinghitamkan bahwa (masalah) ini ada persoalan di keluarga," ungkapnya.
Ia mengatakan faktor masalah keluarga yang dilontarkan guru tersebut tak beralasan, karena sejak lulus SMP, baru kali ini korban mendapat permasalahan karena tidak memakai jilbab.
"Aku sudah diskusi dengan dinas, anaknya jelas sudah sangat trauma ya, sampai sekarang aja belum masuk. Dia tidak mau sekolah di situ. Okelah pasti nanti kita pindah karena KPAI saya libatkan, ORI juga terlibat karena dilihat fotonya itu si anak depresi berat," ungkapnya.
Barulah, pada Senin (1/8/2022), Kepala Sekolah SMA Banguntapan 1 Agung Istiyanto menyatakan klarifikasinya. Pihak sekilah mengaku tidak pernah memaksa siswa untuk menggunakan jilbab.
Agung menyebut guru BK hanya sebatas memberikan tutorial menggunakan jilbab ke siswa yang dimaksud dan sudah melakukan komunikasi dengan siswi yang bersangkutan.
"Itu hanya tutorial, karena saat ditanya belum pernah pakai jilbab, lalu guru mengatakan gimana kalau kita tutorial, dijawab mengangguk (oleh siswi). Guru BK lalu mencari jilbab di ruangannya karena ada contohnya. Lalu guru ngomong kalau kita contohkan gimana? Dijawab murid enggak papa dan siswanya mengangguk boleh," ujar Agung.
Pernyataan Kepsek ternyata berbeda dengan apa yang terlihat di rekaman CCTV. Pada hari kejadian, di ruangan BK terlihat siswi yang bersangkutan hanya diam saja dan sedikit menunduk saat dikenakan jilbab oleh guru BK.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta Budhi Masturi pada Jumat (5/8/2022) lalu ikut menyaksikan rekaman CCTV dan menyimpulkan bahwa itu ada unsur pemaksaan.
"Mereka sudah melihat CCTV-nya, hasil videonya dan menceritakan, mendiskripsikan, ya memang menurut mereka itu paksaan, itu ada unsur paksaannya. Karena melihat bagaimana bahasa tubuh si anak dan sebagainya, dan itu kan berhadap-hadapan dengan tiga orang dewasa dalam jarak yang dekat. Kemudian, ketika dipasangi, itu diam saja dan agak menunduk anaknya. Jadi tergambar," ucap dia.
Dengan bukti tersebut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X turut mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan Kepala Sekolah dan 3 guru SMAN 1 Banguntapan.
Keputusan ini diambil agar dapat menjaga semangat kebhinekaan di sekolah yang ada di DIY.
Dia menambahkan, pemaksaan memakai jilbab tidak ada hubungannya dengan penilaian akreditasi sekolah.
Namun tetap, Sultan HB X menyebut tegas jika tindakan pemaksaan tersebut melanggar keputusan Menteri Pendidikan.
"Saya nunggu dari rekomendasi tim, karena kebijakan itu ada unsur melanggar dari keputusan menteri pendidikan," kata Sultan.
Sultan mengatakan, penggunaan jilbab sebagai seragam tidak bisa dipaksakan pada siswi muslim yang belum menggunakan jilbab.
Kabar terbaru, yakni setelah lebih dari dua pekan, orangtua siswi dan pihak SMAN 1 Banguntapan alhirnya memilih jalur berdamai dalam rekonsiliasi yang diprakarsai Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Yang pasti sekolah kami ingin tenang lagi belajar. Anaknya tenang belajar bapak gurunya tenang belajar itu aja. Kami sudah berbaikan," kata Kepala SMAN 1 Banguntapan, Agung Istiyanto pada Rabu (10/8/2022).
Terkait dengan sanksi, dia menyerahkan semuanya ke BKD. Ia percaya bahwa BKD akan memberikan keputusan yang terbaik baginya dan 3 guru lainnya. (*)