Cerita Juliana, Perempuan Orang Rimba Pertama yang Kuliah, Melawan Tradisi Pernikahan Dini

Minggu, 17 Juli 2022 | 15:31
Suwandi/KOMPAS.com

Cerita Juliana, Perempuan Orang Rimba Pertama Yang Kuliah, Melawan Tradisi Pernikahan Dini

HAI-Online.com - Juliana menjadi seorang perempuan Orang Rimba pertama yang melawan arus tradisi pernikahan dini dengan kuliah.

Ia kini berkuliah di Universitas Muhammadiyah Jambi dan sudah memasuki semester 4.

Perempuan rimba ini berasal dari kelompok Dusun Kelukup, Desa Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Bungo. Juliana mengaku ingin kuliah karena menyadari kalau hutan bukan lagi masa depan.

“Saya mau kuliah, karena sadar hutan bukan lagi masa depan,” kata Juliana dilansir dari Kompas.com, Minggu (17/7/2022).

Juliana cerita, sejak lahir dirinya sudah tinggal di luar hutan. Keahlian bertahan hidupnya di hutam menjadi minim.

Ini juga karena kelompok ini sudah nggak memiliki hutan. Untuk itu, mereka tinggal di perumahan bantuan pemerintah.

Baca Juga: Kisah Alza, Berkat Prestasi Juara Catur dan Juara Kelas, Ia Bisa Kuliah Gratis di UGM!

Keputusan keluarganya untuk mualaf serentak pada 2014 juga mendorong dirinya untuk memiliki keahlian baru,

“Saya pilih kuliah di Universitas Muhammadiyah dan ambil jurusan kehutanan,” ujarnya.

Selesai lulus kuliah, ia ingin bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang konservasi hutan.

Dengan bekerja di perusahaan konservasi hutan, Juliana ingin membantu Orang Rimba lainnya agar bisa hidup tenang dalam hutan, tanpa takut deforestasi atau alih fungsi lahan.

Pernikahan Dini

Keinginan Juliana untuk kuliah ini harus mulus sampai akhir. Setidaknya, dia bisa menginspirasi perempuan rimba lainnya, biar nggak melakukan pernikahan dini.

"Takut Bang. Adat kami keras, kalau melawan adat itu kena denda (tebus) dan maaf (perempuan) Rimba bisa mendapatkan kekerasan fisik dari keluarga," ucapnya dengan nada berat.

Contohnya, kasus yang terjadi pada dirinya. Sebelum kuliah, Juliana sudah dipinang seseorang pria kepada pamannya.

Adat matrilineal Orang Rimba, seorang paman dapat menerima atau menolak lamaran seorang lelaki terhadap anak perempuan yang berada dalam pengaruhnya. Dalam konteks ini, perempuan Rimba berada dalam kendali paman dan nenek (garis ibu) terkait urusan pernikahan.

Apabila melawan keputusan sang paman, maka kedua orangtuanya harus membayar tebusan (denda adat) sampai dua kali lipat, sesuai mahar yang dibayarkan oleh pihak lelaki rimba.

"Rasa cinta Ayah begitu besar. Dia sanggup jual kebun, untuk membayar tebusan (denda adat) agar saya tetap kuliah dan batal menikah," kata Juliana.

Bagi perempuan rimba, untuk sampai pada titik orangtua membayar tebus perjodohan (lamaran) itu nggak mudah, tentu harus memiliki keberanian dan keberuntungan.

Baca Juga: Keanu Reeves Sebut Dirinya Ingin Memerankan Batman di Film Live-Action: Itu Mimpi Gue

Juliana memiliki keduanya, berani dan beruntung. Dia berani mengutarakan mimpinya untuk kuliah dan juga beruntung, karena lelaki yang melamarnya, apabila jadi menikah, akan membawanya jauh dari kedua orangtuanya.

"Takut juga. Tapi karena dorongan kuat untuk kuliah dan Pundi Sumatera (NGO pendamping Orang Rimba), akhirnya berani juga, untuk melawan tradisi," pungkasnya. (*)

Tag

Editor : Al Sobry