Film Horor Indonesia Hantunya Selalu Cewek, Dosen Unpad: Film Horor Menyimpan Ketimpangan Gender

Senin, 06 Juni 2022 | 11:46

Cuplikan Film Horor Indie Remaja, Let's Play, Ghost Karya Dorce Diterima Amerika

HAI-Online.com - Film horor Indonesia jadi salah satu genre yang laku ditonton masyarakat.

Di balik pamornya yang mampu meraup banyak penonton, ada satu hal yang hampir sering kita temuin, yakni banyak hantu di film horor yang diperankan perempuan. Dan hal ini masuk ke objektivitas terhadap perempuan.

Dosen Budaya Populer Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran, Justito Adiprasetio, M.A., dalam studinya, ia menemukan kalo hantu perempuan secara dominan muncul dalam film Indonesia selama periode 1970 sampai 2019.

Perempuan hampir selalu jadi tokoh sentral dalam film horor yang direpresentasikan sebagai hantu (paranormal), monster, atau makhluk menyeramkan.

Bersama Pengajar Luar Biasa Program Studi Televisi dan Film Fikom Unpad, Annissa Winda Larasati, M.A., Tito memetakan ada 559 film horor Indonesia yang diproduksi antara 1970 - 2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60,47 persennya atau 338 film menghadirkan sosok perempuan sebagai hantu utamanya. Sementara 24,15 persennya atau 135 filmnya hantu utamanya laki-laki.

“Makin ke sini, persentase hantu perempuan sebagai tokoh utama makin banyak,” ungkap Tito, dilansir dari laman Unpad.

Baca Juga: Tembus 8 Juta Penonton, KKN di Desa Penari Hampir Salip Infinity War!

Beberapa alasan kenapa perempuan banyak dijadikan sosok hantu adalah representasi terhadap kondisi sosial masyarakat.

Kata Tito, film horor ini merupakan kepanjangan dari folklor yang ada di masyarakat. Ini dibuktikan dengan adanya kepercayaan terhadap berbagai etnis hantu perempuan.

Ia berhipotesis, jika film merepresentasikan apa yang ada di masyarakat, jika dalam konteks hantu, maka arketip hantu perempuan akan terepresentasikan dalam film-film horor.

Dominasi laki-laki di industri perfilman juga sangat keliatan. Ini ditandai dengan sutradara film horor yang didominasi laki-laki, sehingga cara pandang dalam filmnya cenderung sangat laki-laki.

Kendati ada sejumlah sutradara perempuan yang menyutradarai film horor, tatapan misoginistik tetap tidak bisa dihindarkan. Corak misoginisme ini menganggap perempuan sebagai obyek ketakutan.

“Data besar menunjukkan bahwa perempuan sangat dimanfaatkan untuk menakut-nakuti. Ini yang menjadi problematik, bahwa film horor menyimpan ketimpangan gender,” ucapnya.

Adanya corak yang sama juga Tito temukan di sebagian besar cerita hantu perempuan dalam film horor, yakni motif balas dendam.

Banyak film yang mengisahkan bagaimana si hantu perempuan muncul dan menghantui korban setelah meninggal karena diperkosa atau mengalami tindak kekerasan lainnya. Hantu itu muncul buat membalas dendam dengan cara menakuti hingga membunuh sang korban.

Dan ternyata, beberapa film di negara lain juga ada motif semacam ini. Motif tersebut merepresentasikan kalo perempuan punya kekuatan buat membalas kejahatan yang menimpanya meskipun bukan dalam keadaan hidup.

Ini menggambarkan kalo perempuan nggak bisa melawan dominasi laki-laki, sehingga ia baru bisa melawan ketika dalam keadaan mati.

“Memang hal ini ada kesan semacam empowerment terhadap perempuan. Akan tetapi ketika direproduksi terus-menerus, kita bakal mengerdilkan posisi perempuan ketika dia hidup,” tegasnya.

Stereotipe Kebaikan Mengalahkan Kejahatan juga muncul. Meski hantu perempuan muncul buat bales dendam, film horor tetep menekankan pesan kalo kebaikan bakal selalu bisa mengalahkan kejahatan.

Salah satu adegan yang sering ada di film yakni ketika hantu perempuan takluk oleh paranormal, kiai, ustad, sampai pastor. Tito menemukan kalo sosok alim yang mampu mengalahkan kesumat hantu perempuan selalu laki-laki.

“Kita bisa lihat wacana bahwa perempuan itu adalah penggoda dan sebagai lawan agama. Dan ini malah disiarkan dengan sangat kencang oleh film-film horor itu. Ini yang jadi salah satu wujud dari tatapan misoginisme,” papar Tito.

Adegan kayak itu banyak ditemukan di film-film horor yang diproduksi pada masa Orde Baru. Selepas Orde Baru (2000 ke atas), ceritanya jadi lebih banyak variasi meskipun adegan tersebut masih kerap ditemukan.

Variasi adegan yang dilakukan mulai dari munculnya adegan yang lebih gore dan mengganggu (disturbing). Tito mengatakan, nuansa ketakutan yang diciptakan nggak cuman nampilin sosok perempuan sebagai hantu, tapi juga sosok perempuan normal yang melakukan aksi sadistis.

“Ini beda sama film-film Orde Baru yang cenderung mendikte bahwa kebaikan akan selalu menang terhadap kejahatan. Film selepas Orba lebih banyak variasi, akhir yang menggantung, sehingga penonton bisa memiliki imajinasi lebih luas,” papar penyuka film-film horor ini.

Tito mencatat kalo sutradara seharusnya punya wawasan lebih luas lagi soal menempatkan film horor sebagai sesuatu yang memberikan pengalaman menakutkan kepada penontonnya.

“Jangan terjebak sama arketip kalo perempuan itu cuman menakut-nakuti,” tuturnya.

Saat ini, banyak film-film horor Indonesia yang mengadaptasi cerita film horor barat. Banyak film yang memunculkan tidak hanya sosok hantu, tetapi menghadirkan nuansa ketakutan yang lebih luas.

Namun, Tito mengharapkan bahwa adaptasi ini jangan sampai membuat film yang benar-benar meniru, tetapi mampu menghadirkan cerita yang lebih otentik.

“Ini jadi tantangan bagaimana biar nggak jiplak, tetapi menjadi inspirasi buat meningkatkan khazanah horison film horor kita,” pungkasnya. (*)

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya