HAI-ONLINE.COM - Sejumlah orang kesel sama "bahasa Jaksel", yang lain memaklumi. Campur bahasa Indonesia dengan Inggris ada yang anggap nggak menghargai bahasa sendiri, tapi ada juga yang nanggepin nyantai. Tapi, apa cuma anak muda yang pake Bahasa Jaksel?
Dalam istilah linguistik, "bahasa Jaksel" disebut code switching atau alih kode.
Fenomena ini lumrah dan umumnya terjadi pada orang yang bilingual.
Campur-campur bahasa satu dengan lainnya juga terjadi karena akulturasi lho.
Misalnya, kata gue dalam bahasa Betawi merupakan serapan dari bahasa China.
Sementara itu, kata ane diserap dari bahasa Arab.
Adapun globalisasi mempercepat interaksi budaya. Akibatnya, interaksi bahasa satu dengan lainnya pun semakin cepat dan masif.
Berkomunikasi dengan ”bahasa Jaksel” pun kini dianggap wajar. Hal ini sesuai hasil jajak pendapat Kompas terhadap 153 responden di Jabodetabek pada 2018.
Hampir 60 persen anak muda mencampur bahasa saat berdialog.
Hal tersebut nggak hanya dilakukan anak muda, tetapi juga akademisi, pejabat pemerintah, hingga pelaku bisnis.
Sebanyak 26,1 persen responden menganggap tren kemringgis ini sebagai bagian dari perkembangan zaman.
Sebanyak 27,5 persen lainnya menilai ini sebagai hiburan. Adapun 37,9 persen responden mengaku tidak terganggu ketika mendengar percakapan dalam bahasa campuran.
Sebanyak 23,5 persen responden mengaku terganggu, sementara 35,3 persen lainnya merasa biasa saja.
Di sisi lain, menurut Wikipediawan dan pencinta bahasa Indonesia Ivan Lanin, penggunaan bahasa kerap berhubungan dengan prestise.
Bahasa asing dianggap lebih prestisius daripada bahasa Indonesia.
”Pemerintah dapat meningkatkan prestise bahasa Indonesia dengan pembiasaan, misalnya dengan mengharuskan pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik. Pemerintah, melalui Badan Bahasa, juga dapat meningkatkan penyebaran padanan kata melalui berbagai saluran, misalnya media sosial,” ujarnya.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Endang Aminudin Aziz mengatakan, alasan lain orang menggunakan bahasa campuran adalah untuk pamer.
Hal ini nggak dikehendaki dalam komunikasi karena akan membuat dialog bersifat egosentris.
”Ini membuat penutur berjarak dengan mitranya. Selain itu, berbahasa campuran untuk pamer membuat posisi mitra tuturnya tidak lagi setara dengan penutur yang bersangkutan. Namun, hal ini tidak akan terjadi jika kedua belah pihak saling mengerti bahasa tersebut,” ucap Endang.
Yang jelas, campur bahasa nggak masalah asal pesannya tersampaikan dan komunikasinya nggak egosentris. Setuju?
Artikel ini sebagian dikutip dari "Dwibahasa yang Bukan Sekadar ”Bahasa Jaksel” dari Kompas.id