HAI-Online.com – Bullying menjadi salah satu isu yang masih aja sering terjadi di kalangan remaja, khususnya anak sekolah.
Bahkan kasus bullying bagi sebagian orang dianggap hal yang lumrah hingga kerap disepelekan.
Namun kalian tahu, nggak, sih bahwa praktik bullying, khususnya yang terjadi di masa remaja itu berbahaya banget karena bisa berefek seumur hidup bagi korban bullying maupun pelaku bullying tersebut.
Meninggalkan trauma
Menurut hasil penelitian Duke University yang terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences, orang-orang dewasa yang di masa kanak-kanaknya pernah jadi korban penindasan atau bullying ternyata memiliki kondisi kesehatan mental dan kesehatan fisik yang lebih buruk dibanding mereka yang nggak pernah jadi korban bullying sewaktu kecil.Baca Juga: Waspadai 5 Tanda-Tanda Orang Narsis Ini, Beda sama Percaya Diri Lho!
Laporan tersebut didasarkan pada temuan dari Longitudinal Great Smoky Mountains Study, yang dimulai pada tahun 1993 dan diikuti 1.420 anak-anak dari North Carolina bagian barat, sebagaimana dikutip nationalgeographic.grid.id.
Dalam studi ini, para peneliti psikiatri mewawancarai peserta hingga sembilan titik waktu.Yang pertama adalah ketika mereka masih anak-anak dan remaja (usia 9 hingga 16 tahun) dan sekali lagi ketika mereka dewasa muda (usia 19 hingga 21 tahun).
Studi tersebut dipimpin oleh William Copeland, seorang profesor psikiatri dan ilmu perilaku di Duke University Medical Center di Durham, North Carolina.
Laporan-laporan sebelumnya, termasuk beberapa dari Great Smoky Mountains Study, menunjukkan bahwa orang-orang dewasa muda yang diintimidasi sejak kecil dapat memiliki masalah kesehatan mental jangka panjang seperti gangguan kecemasan, gangguan panik, dan depresi.
"Korban bullying memiliki masalah emosional jangka panjang yang terburuk dan hasil kesehatan yang buruk," tulis Copeland dan rekan-rekan penulisnya seperti dilansir National Geographic.
Baca Juga: 5 Penyebab Pacar Jadi Posesif dan Cara Bikin Doi Jadi 'Tobat'
Ia memaparkan, dalam riset ini para peneliti mengukur kadar protein C-reaktif (CRP) dalam darah—penanda peradangan kronis yang dikaitkan dengan risiko penyakit kardiovaskular dan sindrom metabolik—para peserta pada beberapa titik selama masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa muda mereka.
CRP sendiri, Copeland menambahkan, adalah salah sat tanda stres pada tubuh dan pertanda masalah kesehatan di masa mendatang.
Para peneliti kemudianmengetahui bahwatingkat CRP pada semua peserta meningkat seiring bertambahnya usia mereka. Tetapi mereka yang pernah ditindas memiliki tingkat kenaikan tertinggi, dan mantan penindas memiliki tingkat terendah.
Catherine Bradshaw, wakil direktur Johns Hopkins Center for the Prevention of Youth Violence di Baltimore, Maryland, memperingatkan agar nggak terlalu menafsirkan tingkat CRP yang lebih rendah pada para pelaku bullying sebagai sesuatu yang baik dan sehat.
"Dan bahkan jika temuan Duke University itu adalah bukti bahwa menjadi penindas mungkin baik, itu nggak boleh dibaca sebagai izin untuk menindas," ujarBradshaw.
"Ada studi-studi lain yang terdokumentasi dengan baik, baik jangka pendek maupun jangka panjang, yang menunjukkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam penindasan cenderung akan membuat masalah-masalah lainnya,"lanjutdia.
"Misalnya, anak-anak pelaku intimidasi lebih cenderung menjadi anggota geng, membawa senjata, dan membolos," sambungnya.
Baca Juga: Kebalikan dari Insomnia, Penyakit Ini Malah Bikin Lo Ngantuk Melulu
Nah tuh, jangan sampai sepelein lagi tindakan bullying di kelas ya, sob. (*)