HAI-Online.com - Nggak sedikit orang yang mengaggap Burgerkill sebagai band metal. Namun, pada akhirnya, sang pelakunya berkata beda.
Lantas, gimana itu bisa terjadi? Berikut percakapan HAI dengan Eben 'Burgerkill' pada 2012 silam, saat kita mencoba menelisik perbedaan mendasar antara musik hardcore dan metal.
Soalnya, nggak bisa dipungkir dua aliran musik cadas ini kerap kali sebelas-dua belas secara musikalitas maupun semangatnya.
Baca Juga: 7 Rekomendasi Band Hardcore Punk Asal Depok Jebolan Scene 'DCHC'
Metal dan hardcore memang terhubung satu sama lain. Terlebih keduanya berada di satu scene yang sama, yakni scene bawah tanah alias underground. Tapi menariknya, ada persamaan dan perbedaan signifikan dari pelaku hardcore dan metal.
Hardcore sendiri basic-nya berasal dari punk. Beberapa band pionir yang berhasil mengantarkan hardcore di tengah keriuhan metal di era 80an adalah Bad Brains, Black Flag, dan Minor Threat.
Meski keduanya memainkan tempo yang cepat, dengan permainan gitar yang berat, dan menggunakan vokal teriak-teriak, namun ada pembeda utama, nih.
Metal muncul atas prakarsa rock mind set - yang cenderung menjadi lebih extravagant dan hebat. Sedangkan hardcore lahir berkat spirit Do It Yourself, yang identik dengan sikap dan semangat untuk menjadi independen.
Pada aspek lain, heavy metal fokus kepada keahlian instrumental, aransemen multipart lagu yang rumit, dan tema-tema yang mengerikan.
Sedangkan hardcore mengusung permainan gitar yang cenderung simple namun mencolok, aransemen yang pas, dengan lirik-lirik bertema politik.
Kala ditanya tentang metal sebagai genre yang Burgerkill usung, Eben pun agaknya menampik. "Gue tetep merasa band gue hardcore," begitu kata Eben, gitaris Burgerkill, tentang dia dan bandnya kepada HAI.
"Musik itu kan kayak bayi, ketika berumur 2-3 bulan, lo cuma dapet asi. Ketika kian besar lo makan bubur. Banyak ilmu baru dan menimba pengalaman."
Sementara, ngebahas tentang cultruremetal, Eben punya pendapat sendiri tentang peta penyebar metal di Indonesia.
"Jakarta, Bandung, dan Jawa, dan (daerah) lainnya jelas beda. Misal, kita ngomongin persaingan. Jakarta, di sini culture-nya lebih kritis. Siapa yang paling dengan media, dia yang nantinya akan lebih cepat terkenal," terang Eben dari sudut pandangnya. (*)
Tulisan dikutip dari arsip Majalah HAI edisi 17 April 2012.