RCTI Gugat UU Penyiaran Sehingga Kita Nggak Boleh Sembarangan Siaran Live, Pemerintah Minta Batalkan

Jumat, 28 Agustus 2020 | 11:45
PIXABAY/STOCKSNAP

Ilustrasi YouTube

HAI-ONLINE.COM - Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi ( MK) menolak permohonan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).(RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) yang menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.Menurut pemerintah, jika permohonan itu dikabulkan, maka masyarakat nggak akan bisa lagi mengakses media sosial secara bebas.Sebab, layanan over the top (OTT) yang menggunakan internet akan disamakan dengan layanan penyiaran. Sehingga, tayangan audio visual akan diklasifikasikan sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar."Definisi perluasan penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram live, Facebook live YouTube live dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan jadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," kata Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo Ahmad M Ramli dalam persidangan di MK, Rabu (26/8/2020), seperti dipantau Kompas.com melalui YouTube."Artinya kita harus menutup mereka kalau mereka nggak mengajukan izin," tutur Ramli.Ramli mengatakan, apabila kegiatan-kegiatan tersebut dikategorikan sebagai penyiaran, maka lembaga negara, lembaga pendidikan, konten kreator baik badan usaha ataupun badan hukum yang menggunakan platform OTT harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran.Jika tak mengantongi izin, mereka dapat dinyatakan melakukan penyiaran ilegal. Mereka yang melakukan penyiaran ilegal pun terancam sanksi pidana.

Baca Juga: Apa Aja Live Streaming yang Bakal Dilarang Kalo RCTI Menang Gugatan? Dari Instagram Live, Youtube, Hingga Twitch Kena

Menurut Ramli, mengingat penyedia layanan audio-visual umumnya melintasi batas negara, maka mustahil untuk menerapkan hukum Indonesia di luar wilayah yuridiksi dalam negeri."(Jika gugatan diterima) akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah secara keseluruhan UU Penyiaran serta peraturan terkait di bawahnya," ujar dia.Ramli menyebut, terdapat perbedaan yang jelas antara penyiaran yang dilakukan lembaga penyiaran dengan layanan audio visual OTT.Misalnya, penyiaran dilakukan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui satelit. Penyiaran juga dibatasi layanannya di televisi dan radio.Kegiatan penyiaran dilakukan melalui infrastruktur yang dibangun dan disediakan secara khusus untuk keperluan penyiaran. Masyarakat pun nggak dapat memilih program siaran yang ditayangkan.Menurut Ramli, keliru jika menyamakan layanan penyiaran dengan layanan OTT, meskipun konten yang dihasilkan sama-sama audio dan atau audio visual."Para pemohon nggak memahami secara menyeluruh definisi penyiaran dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran dan nggak memahami pengaturan penyelenggaraan penyiaran dalam UU penyiaran dan peraturan pelaksanaannya," kata dia.Ramli menambahkan, seluruh media komunikasi massa di Indonesia memiliki aturannya sendiri.Jika layanan penyiaran diatur melalui UU Penyiaran, maka layanan OTT yang memanfaatkan jasa akses internet melalui jaringan telekomunikasi tunduk pada UU Telekomunikasi.Sedangkan pengawasan konten OTT yang ditransmisikan melalui sistem elektronik tunduk pada UU ITE."Dengan demikian jadi jelas bahwa karakteristik OTT khususnya untuk layanan audio visual OTT berbeda dengan penyiaran yang tunduk pada UU Penyiaran," kata Ramli.Sebelumnya, PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).Mereka menyoal Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang menyebut,“Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Oleh pemohon, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio, dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti Youtube dan Netflix.Hal ini karena Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.“Karena nggak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau nggak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT nggak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata Kuasa Hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat.Dalam gugatannya, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal.Misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran.Sementara penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet nggak perlu memenuhi persyaratan tersebut.Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Instagram TV hingga YouTube Live Harus Miliki Izin Siar jika Gugatan terhadap UU Penyiaran Dikabulkan"

Tag

Editor : Alvin Bahar