Foto-foto dan Liputan Konser Green Day di Jakarta 1996: Kaca JCC Pecah, Banyak Jambret, Tiket Rp60 Ribu

Minggu, 24 Mei 2020 | 17:00
Sute/HAI

Konser Green Day di Jakarta, 1996.

HAI-ONLINE.COM - Selepas melihat beberapa Tweet yang bilang konser Green Day di Jakarta tahun 1996 sangat sedikit dokumentasinya, HAI langsung ngubek arsip.

Ditemukanlah liputan dan foto-foto konser Green Day di Jakarta tahun 1996 tersebut. Tulisan liputan dimuat seperti aslinya, yakni di HAI edisi 07/XX1996. Silakan menikmati!Remaja yang malam itu bermaksud nonton Green Day di Jakarta Convention Centre, 2 Februari, boieh jadi gigit jari. Abis, segala macam aksesori yang mereka kenakan muiai gelang. kalung, sampai ke korek api, dipreteli oleh petugas keamanan begitu melewati pintu masuk ke lobi. Tentu ini untuk alasan keamanan.

Meski, menurut para remaja itu, mereka datang ke situ cuma pengen nonton.

Sute/HAI

Karena pertlmbangan keamanan, aksesorls penonton pun dipreteli.

"Ngapain bikin ribut? Cari penyakit!" Musik punk kayaknya memang tak bisa bergeser dari hakikatnya sebagai ekspresi pemberontakan. Di mana ia muncul, di situ ada keliaran. Termasuk di gedung bersuasana mewah seperti JCC, tempat Green Day — Billie Joe (vokal, gitar), Mike Dirnt (bas), dan Tre Cool (drum) — beraksi. Mereka tampil dengan gayanya yang khas: urakan dan terkesan jorok. Lihat saja bagaimana Billie tak segan menggigit sepotong sepatu kets tusuh yang dilemparkan penonton ke arahnya. Dan sepanjang konser ia meludah seenaknya.

Sekitar 50 menit, trio asal California itu membakar emosi tak kurang dari 6000-an remaja ibu kota. Lebih dari sepuluh lagu, yang umumnya berdurasi pendek, mereka luncurkan dalam tempo permainan tinggi. Inilah sosok grup yang tadi ramai dibicarakan itu. Baik karena ulah personelnya yang nyentrik maupun akibat penjualan albumnya yang mencapai angka 10 juta kopi.

Sute/HAI

Suasana penonton Konser Green Day di Jakarta 1996

Suasana panas di JCC sudah terasa sejak Green Day memulai konsernya lewat Basket Case, lagu hit dari album Dookie. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 20.30 WiB. Ruang festival yang sejak tadi berdengung nggak keruan, tiba-tiba saja meledak oleh teriakan dan lonjakan penonton. Acara moshpit pun segera berlangsung. Beberapa cowok nampak menggelosor di antara ribuan kepala. Ada yang mendarat dengan mulus, ada juga yang dihempaskan begitu saja. Tapi, seperti cuek dengan rasa sakit, ia segera kembali berjingkrak. Acara moshing ini sepertinya merupakan bagian penting dari sebuah pertunjukan punk atau alternatif. Karena itu, sebelum pertunjukan dimulai, sebagian penonton di tribun segera terjun ke ruang festival. Seorang panitia yang dengan simpatik menjelaskan betapa bahayanya kalo meluncur dari tribun ke bawah, malah kena hardik.

Tapi entah karena nggak pengen bikin keributan, atau memang ngeper, si cowok itu lantas mengurungkan niatnya. Dari atas panggung yang ditata ala kadarnya, lagu-lagu berirama cepat terus meluncur nyaris tanpa jeda. Paduan suara gitar Billie, dentuman bas Mike dan gempuran drum Tre Cool menciptakan kebisingan luar biasa. Sebagian besar diambil dari album terakhir, Insomniac. Tapi materi dari album Dookie nampaknya jauh lebih diakrabi rakyat punk itu.

Lihat saja, betapa histerisnya mereka ketika Green Day membawakan When I Come Around, yang telah menjadi semacam lagu 'kebangsaan'-nya musisi punk lokal.

Sute/HAI

Konser Green Day di Jakarta 1996

Membludaknya penonton di ruang festival yang melebihi kapasitas langsung membuat tempat pertunjukan ber-AC itu terasa panas, sumpek dan bau keringat. Beberapa penonton yang nggak tahan udara panas satu per satu menghambur ke koridor, untuk mendapatkan udara segar. Termasuk Trisno, pemain bas Pas Band yang ikut ber-moshing. "Gila, haus banget," katanya sembari celingukan mencari-cari penjual minuman. Nihil, ia segera kembali melebur dengan histeri massal. Sedang Bimo, drummer Netral, cabut sebeium konser selesai. "Wan, gue nggak tahan panasnya," keluh cowok berkacamata yang malam itu nampak rapih. Toh, suasana di luar gedung JCC ternyata jauh lebih panas. Segerombolan remaja yang nggak punya karcis, mulai gelisah waktu suara menggelegar terdengar dari dalam. Mereka berteriak-teriak, bersahutan dengan gonggongan sekawanan anjing herder milik petugas keamanan. Dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja 'prang'! Pintu lobi yang terbuat dari kaca super tebal itu bolong terkena lemparan batu, disusul dengan bunyi 'prang' di bagian lain.

Suasana jadi sulit terkendali. Kesempatan tersebut segera dipergunakan oleh sejumlah remaja untuk menerjang masuk. Mereka yang tertangkap langsung dihajar petugas. "Di luar banyak jambret," teriak Nugie, si penyanyi Tertipu, yang ikut 'terdorong' ke dalam. Para panitia penjaga pintu masuk kedua, yang langsung menuju ruang pertunjukan, rupanya tak siap menghadapi peristiwa mendadak ini.

Walhasil, beberapa remaja tanpa karcis tadi berhasil menerobos, lalu berbaur dengan penonton lain, meninggalkan lobi yang berantakan dalam sekejap.

Sute/HAI

Penonton yang tepar di Konser Green Day di Jakarta 1996

Lala Hamid dari Indo Ent, promotor yang mendatangkan Green Day, menyatakan siap mengganti kerugian. "Tapi kan ada kerusakan yang harus diganti, dan ada yang nggak harus diganti, sesuai dengan kontrak. Semua itu kami serahkan ke lawyer," katanya kkepada Hai. Yang jelas, secara bisnis, konser dengan tanda masuk seharga Rp. 60.000 yang digelar Indo Ent itu jauh dari menguntungkan. Apalagi pihak Green Day bersikeras menolak keterlibatan para sponsor. Jadi, "Dana konser ini sepenuhnya mengandalkan hasil penjualan tiket." tambah Lala. Lalu, mengapa memilih JCC untuk pementasan grup musik seberingas Green Day? Ternyata, ia memang menghindari lokasi di luar gedung (outdoor), dengan alasan biaya pengamanannya akan lebih besar dibanding di dalam gedung (indoor). Saat itu promotor menurunkan sekitar 400 petugas keamanan. Itu belum termasuk Tim Saber yang didatangkan belakangan, setelah kerusuhan tadi terjadi.

Mengapa sosok Green Day begitu mengundang animo remaja untuk datang menyaksikan, padahal musiknya nggak tergolong baru? Punk kan sudah lahir sejak puluhan tahun lalu. Mereka juga tak menciptakan interpretasi baru, kecuali bahwa liriknya makin sarkas dibanding para pendahulunya semisal Sex Pistols, The Ramones, atau The Clash. Dari kaidah harmoni, lagu-lagu Green Day juga sebenarnya miskin melodi. Begitu pula dengan beat-nya.

Sute/HAI

Kaca JCC yang pecah di Konser Green Day di Jakarta 1996

Dari satu lagu ke lagu lain nyaris nggak ada perbedaan yang menyolok. Wong Aksan, drummer Dewa yang 'nongkrong' di kantor redaksi Hai seusai konser, bahkan menilai musik Green Day cenderung membosankan. "Dengerin musik mereka gampang capek," katanya. Lantas, kapok nggak sin. promotor? Ternyata, tidak. Pihak Indo Ent kini bahkan teiah siap dengan konser penyanyi asal Hong Kong, Jacky Cheung. Siapa tahu, kali ini menguntungkan. Ya, itulah bisnis hiburan, Selalu ada pasang surut. (dmr).

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya