Cina Lawan Hama Belalang dengan Kerahkan 100.000 Pasukan Bebek

Sabtu, 29 Februari 2020 | 19:10
China Daily Informat

Seorang pria di Cina menggiring bebek-bebeknya

HAI-online.com -Sejumlah kawasan di Asia dan Afrika, terutama di Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Timur, belakangan ini tengah diserang wabah hama belalang.

Serangan belalang tersebut berpotensi menimbulkan kekurangan pangan di daerah-daerah tersebut karena bisamenghancurkan tanaman dan padang rumput dengan jumlah dan lajunya yang mematikan.

Untuk menangani ini, negara Cina berencana melawannya dengan mengerahkan 100.000 pasukan bebek, setelah negara tetangganya, Pakistan, menjadi korban serangan wabah tersebut.

Meski terdengar konyol, tapi "senjata biologis" ini dianggap lebih efektif daripada pestisida. Sebab, satu ekor bebek dapat memangsa lebih dari 70 belalang sehari.

Baca Juga: Anjing Liar Ini Jadi Viral karena Selalu Bantu Anak-anak Menyebrang Jalan

"Bebek suka tinggal dalam kelompok, sehingga mereka lebih mudah dikelola daripada ayam," ujar Lu Lizhi, seorang peneliti senior di Akademi Ilmu Pertanian Zhejiang seperti dikutip dari Bloomberg.

Pasukan bebek ini akan memulai misinya dari daerah Xinjiang yang gersang dan kering, sebelum berangkat ke Pakistan.

Di Pakistan, 100.000 "tentara" bebek tersebut akan menjalani misi di provinsi Sindh, Balochistan, dan Punjab.

Menghentikan hama belalang sangat penting bagi Cina karena negaranya itu berbatasan langsung dengan negara-negara Asia Selatan yang telah menjadi korban serangan.

Baca Juga: Kocak, Reporter Ini Nggak Sengaja Nyalain Filter Saat Bawain Berita Secara Live

Meski begitu, beberapa pakar meragukan cara ini akan berhasil."Bebek adalah makhluk air, dan di daerah gurun seperti Pakistan suhunya sangat tinggi," kata profesor Universitas Pertanian China, Zhang Long, dikutip dari New York Post.

Iamenganjurkan untuk memakai insektisida tradisional untuk meredakan wabah. Para ilmuwan juga diminta segera menciptakan sesuatu yang manjur untuk melawan wabah ini. Sebab, jumlah belalang sudah terlalu banyak akibat perubahan iklim.

(*)

Tag

Editor : Al Sobry

Sumber Kompas.com, Bloomberg