HAI-Online.com- Kejadian tsunami di Banten dan Lampung masih membayangi sebagian teman kita, terlebih bagi mereka yang tinggal di pesisir pantai Selat Sunda.
Meski peristiwa itu sudah lebih dari dua pekan berlalu, rasa kengerian, kehilangan pun kelelahan masih menempel di ingatan. Terlintas lagi bagaimana nasib mereka berubah drastis dalam satu malam itu.
"Saya baru pulang dari jualan bacang," kata Mustofa, warga SMAN 16 Pandeglang, kecamatan Sumur membagikan kisahnya waktu kejadian tsunami.
Baca Juga : Bukti Kalau Donasi Seragam Sekolah Sangat Dibutuhkan Pelajar Terdampak Tsunami Selat Sunda
Biasa berdagang di pasar malam pada akhir pekan, tidak seperti biasanya dagangan pelajar kelas 12 IPA 2 ini jauh dari kata laris. Padahal, waktu itu musim liburan sekolah.
Mustofa memilih pulang lebih awal. Tepat pukul 9 malam, ia sudah berada di rumah.
"Seperti udah punya firasat. Biasa laris, ini nggak. Tersisa masih 150 bungkus bacang," ingatnya agak sedikit kecewa tak bawa yang banyak untuk dibawa pulang.
Meski begitu, ibu Mustofa tetap perhatian dengan usaha dan perjuangan anaknya. Disuruhnya Mustofa istirahat lebih awal, dengan sebelumnya sang ibu menyarankan motor yang tadi diajak ke pasar malam segera dimasukan ke dalam rumah.
"Pulang ke rumah udah beberapa menit, emakmenta geura diasupkein eta motorna(emak minta segera dimasukin itu motornya)," katanya campur berbahasa Sunda dan Indonesia.
"Saya di kamar, motor udah dimasukin, nggak lama mati lampu. Terus ada suara, dikira genset," jelas Mustofa lagi mengurutkan menit demi menit kejadian.
"Punya firasat (tsunami) sudah ada," katanya lagi seketika waktu itu melihat ke arah laut. Ia sadar jika terang bulan, terkadang air laut suka pasang dan menyentuh rumah warga. Dia pun mulai memerhatikan sekitar.
"Hikmahna caang bulan. Ningali ka laut katempo, ombak ngajepat balapan. Pulau Oar gelap. (hikmahnya lagi terang bulan. Ngeliat ke laut kelihatan, ombak menderu seperti balapan) Adik saya, teriak 'Mak, Pak tsunami, keluar-keluar!'" serunya.
Dengan singkat, Mustofa bergerak cepat membangunkan orang-orang rumah. Bahkan tanpa pikir panjang, pada saat air mulai naik ke dalam rumah, ia berlari ke dataran yang lebih tinggi demi selamat dari kejaran ombak, ia pun tak sungkan membantu ibunya dengan sambil menggendongnya. Sungguh mulia.
"Ke arah Pasir Malang sambil gendong Emak," ceritanya bukan tanpa sebab ia melakukan hal tersebut.
"Ngalamun bae, Ibu saya ngeliat air tingginya serumah," katanya lagi sambil menghela nafas. Itu berarti dagangan bacang, motor, rumah berikut kamar triplek dan perlengkapannya hanyut tersapu air laut yang pasang surut tiga kali berulang.
"Saya cari adik saya masih hidup, orangtua juga ada semua. Itu aja yang selamat," ucapnya lagi tetap bersyukur.
Meski sempat tinggal di pengungsian, dan pindah ke rumah saudara, Mustofa tetap berangkat sekolah di hari pertama paska liburan dan kejadian tsunami.
Dia berangkat dengan seragam putih abu-abu lusuh yang diambilnya dari barang-barang sumbangan warga. Seragam yang lebih baik dia berikan ke adiknya.
Meski ukurannya terlihat agak sempit, tak mengapa ia masih bisa sekolah dan bertemu lagi dengan teman-temannya. (*)