Follow Us

Review: Polka Wars, Orde Baru, Kekuasaan, dan Upaya Merekam Jejak

- Senin, 30 Juli 2018 | 11:58
Review: Polka Wars, Orde Baru, Kekuasaan, dan Upaya Merekam Jejak

HAI-ONLINE.COM - Sebuah pistol berjenis Smith and Wesson kaliber 38 tergeletak di atas meja yang penuh, di sampingnya terdapat tang dan rokok yang setengah habis bertengger di asbak. Jam baru saja menunjukan pukul enam lewat dua puluh. Sesaat kemudian tampak kaki diseret di lantai yang berdebu dan berbatu. Dengan baju yang lusuh dan kepala diselubungi seibo ia didudukan dengan paksa. Usai diikat dengan tali, seketika tinju mendarat di perutnya.Pemandangan dalam musik video Rekam Jejak dari Polka Wars tidak bisa tidak mengingatkan kita kepada testimoni Nezar Patria yang olehnya disebut sebagai “Kuil Penyiksaan Orde Baru”.Lalu saya merasakan sebuah pukulan keras di rahang saya dan diikuti dengan puluhan pukulan lain. Mereka mengulangi pertanyaannya, dan saya jawab tidak tahu. Lalu saya mendengar ada suara perintah untuk mengambil alat setrum. Sebuah benda terasa menempel di betis dan paha saya, dan sebuah aliran listrik yang cukup kuat menyentak seluruh sendi tubuh saya. Saya berteriak “Allahu akbar!”. Tulis Nezar Patria, mengenang peristiwa pahit pada 13 Maret 1998, dua hari setelah Sidang Umum 1998 yang penuh kepalsuan.

Cek: Band Pop Punk Saturday Night Karaoke Rilis Album Lewat 3 Label BerbedaKita sepakat Orde Baru adalah salah satu sejarah kelam bangsa ini, banyak hal terjadi sepanjang rezim tersebut. Represi keras Orde Baru saat itu, berupa penangkapan- penangkapan aktivis pro-demokrasi, pemenjaraan, penculikan, disertai dengan penggerebekan sekretariat-sekretariat gerakan, penggerebekan kampus-kampus, pabrik- pabrik oleh intelijen, pembredelan media juga penggerebekan rumah-rumah dan kantor- kantor yang dicurigai sebagai tempat berkumpul dan bersembunyi-nya para aktifis pergerakan kala itu.Namun berkat rangkaian kerja besar, rahasia dan tersembunyi dari mahasiswa dan rakyat, patron yang tegak berdiri lebih dari tiga puluh tahun berkuasa berhasil diruntuhkan. Namun layaknya sejarah, tak semuanya berakhir bahagia.

Segala sesuatunya memiliki harga yang mesti dibayar. Ada tiga belas orang lenyap yang hingga kini nasibnya tidak diketahui. Sulit memang untuk tidak menduga mereka dibunuh. Atau paling tidak mati dalam penyiksaan.Dalam musik video Rekam Jejak, meski kita tak tahu si pria berwajah payah dengan tubuh penuh luka itu siapa dan mewakili apa, namun Polka Wars dengan jelas merekam bahwa pernah ada suatu masa negeri ini dijalankan dengan represif. Masa di mana penguasa bekerja dengan menebar rasa takut dan curiga, kita ingat tak terkecuali kepada seorang wanita seperti Marsinah.Hari ini setelah dua puluh tahun Reformasi berjalan banyak hal berubah. Namun beberapa hal menolak berubah atau memang tetap dibiarkan demikian, menjadi misteri.“Saya mencoba mengingatkan kembali apa yang pernah terjadi dan apa yang terjadi”, ucap Agung Pambudi sang sutradara yang sebelumnya juga terlibat dalam kerja pembuatan musik video Rangkum.

Tak keliru memang apa yang Agung kerjakan. Akhir-akhir ini di tengah banyak pihak bekerja untuk menumpulkan ingatan tentang peristiwa ini, mengingat menjadi pekerjaan yang penting.Agung mengaku kali pertama ide musik video ini keluar hanya sebatas video lirik. Namun ternyata isi kepalanya lebih liar dari yang ia bayangkan. “Makin lama makin berkembang jadi bentuk yang lebih cinematic. Dan akhirnya kami berujung dengan visualisasi kami pribadi terhadap kejadian-kejadian ini” tutur Agung Pambudi panjang lebar.Selain itu apabila diamati dalam musik video Rekam Jejak, Agung Pambudi dan Polka Wars tak hanya berputar berbicara tentang peristiwa 1998. Di salah satu bagian, mereka juga menampilkan potongan berita Petrus (Penembakan Misterius) dengan judul Misteri Mayat Bertato. Sejarah mencatat tak kurang dari 600 orang tewas sepanjang 1980 akibat operasi tersebut. Selanjutnya Polka Wars turut berbicara Peristiwa Tanjung Priok serta pembakaran majalah Tempo edisi terakhir sebelum dibredel pada Juni 1994 sebagai lambang terbatasnya kebebasan pers kala itu.

Melalui fragmen-fragmen yang Agung Pambudi tampilkan bersama Polka Wars menjadi sumbangan kecil agar peristiwa-peristiwa tersebut dan mereka yang hilang tetap diingat. Sebab mereka, dengan kerja nekat telah berhasil menumbangkan kekuasaan Soeharto secara fisik, mengusir perlahan-lahan militerisme ke barak, memberi ruang bagi kebebasan berorganisasi dan berekspresi bagi semua orang.Tak ada lencana. Juga tak ada yang menuangkan sampanye atas kerja mereka. Kita tak pernah tahu di mana dan bagaimana paru-paru mereka pensiun. Kita hanya bayangkan tentu dengan perasaan kecut, ketiga belas orang yang hilang bernasib serupa dengan pria berbaju putih dalam musik video Rekam Jejak. Mungkin ia terlelap dan tak bangun kembali usai tersengal-sengal. Atau mungkin langsung dibunuh dengan bedil. Satu yang pasti, mereka tak pernah kembali.“Rekam Jejak” melalui video ini dapat dikatakan sebagai upaya Polka Wars melanggengkan keberanian dan semangat para tokoh yang tak pernah kembali itu. “Hanya mengajak anak muda untuk ingat dan mencari tahu siapa mereka, pemuda lain yang pada masanya berbuat baik atau menjadi pahlawan dalam konteks zaman itu. Nggak semua persoalan bisa diselesaikan dengan turun ke jalan. Ada banyak cara untuk mengubah negeri ini jadi makin baik,” ucap Deva, salah seorang anggota Polka Wars sekaligus Produser untuk musik video ini dengan nada optimis.Rasa optimis semacam ini memang bisa berujung basa-basi belaka. Namun tak dipungkiri bahwa sejarah sebuah bangsa di mana pun, di dunia, selalu berhasil diselamatkan karena perasaan optimis di dada setiap rakyatnya.Setelah mereka tak kembali lagi, kini giliran kita yang memiliki kewajiban untuk menuntaskan seluruh kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan dan tentunya, ke-khilafan bangsa ini. Mencari dan belajar dari keberanian-keberanian generasi sebelumnya, memeriksa kekuatan dan kelemahan, membaca alur dan dinamika masyarakat Indonesia secara kritis, merupakan sedikit upaya bagi generasi kita untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik dan manusiawi di masa depan.Memanfaatkan era keterbukaan dan kemerdekaan dalam berpikir saat ini, maka tak seharusnya kita berkubang dalam ruang gelap ketidaktahuan.Iksal R. Harizal

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya

Latest