Follow Us

Felix Dass: Kalau Mau Dukung Musik Indie, Jangan Minta Gratisan!

Rizki Ramadan - Rabu, 21 Maret 2018 | 13:00
Felix Dass
Rizki Ramadan

Felix Dass

HAI-online.com - Sudah dari era Multiply, nama Pelukislangit dikenal. Felix Dass, orang di balik blog itu, senang berbagi ulasan tentang band indie yang ia dengar, dan pengalamannya dateng ke gigs. Multiply lalu padam, tapi semangat Felix untuk terus mendokumentasikan musik terus jalan. Ia juga menulis untuk majalah indie Ripple, sempat rutin mengisi kolom musik di The Jakarta Post, dan tetap rajin mengisi blog pribadinya, Felixdass.com.

Sejak 2015, Felix memilih cabut dari korporat tempatnya bekerja demi fokus bergiat di sidestream scene. Selain tetap rajin menulis, Felix juga kini dikenal sebagai penyelenggara sejumlah gigs, seperti Cikini Folk Festival, pertunjukan Future Folk di IFI, dan Bermain di Cikini, sambil ikut membesarkan duo folk Ari Reda sebagai manajer. Singkatnya, Felix dan musik indie itu nyaris seperti sinonim.

Menurut Felix Dass, masa sekarang ini adalah fasenya para pelaku musik sidestream ini nyayur alias dapat banyak untung. Tapi, ia tetap punya kecemasan: sustainability. Itulah mengapa baik penikmat maupun pelaku skena musik sidestream kudu saling dukung. Bagi musisi, walau bisa dimulai karena awalnya suka-suka, sidestream bisa dipertahankan hanya dengan kerja keras. Lalu, di kalangan penikmat, biasakanlah menghargai karya musik, jangan biasakan minta gratisan konser atau rilisan fisik. Di Kedai Tjikini, Jakarta, tempat Felix biasa nangkring, saya menemuinya. Berbincang tentang masa lalu, masa sekarang dan masa depan skena musik sidestream.

Menurut lo musik sidestream sekarang ini gimana?

Kalau menurut gue sih sekarang adalah masa paling oke sejak scene musik indipenden ada di Indonesia, awal 90-an dulu. Setelah nyaris 30 tahun akhirnya dapet putarannya. Musisinya bisa mandiri berdiri di kaki sendiri. Bisa direplikasi. Nggak banyak orang yang sadar, kita tuh sekarang ini bisa nyari 10 raksasa di scene indipenden income-nya setahun kurang lebih dari Rp 3 miliar. Contohnya, Seringai, White Shoes and The Couple Company, Sore, Burger Kill, Superman is Dead, Payung Teduh, Mocca, dan Barasuara mungkin. Mereka, kan, sekali main bisa dapat sekitar Rp 30-40 juta. 70 kali main udah 2,8 miliar. Weekend ada 52. Seminggu bisa main dua kali. Itu (pendapatan Rp 3 miliar) make sense. Gue pun merasakannya, gue keluar dari korporat tahun 2015 lalu untuk fokus di dokumentasi scene ini. Bayangin aja, gue yang bukan pemain utama, gaya hidup gue tuh udah kayak waktu berpenghasilan di korporat. Orang-orang yang fungsinya pendukung kayak gue aja bisa sejahtera. Gimana pemainnya? Scene ini udah sangat besar.

Sepengamatan lo kapan musik sidestream ini mulai pecah?

Big break-nya, sih, kalau menurut gue tuh, setelah 2011. Kan, perkembangannya ada fase. Ada fase pembentukan, fase establishment, dan fase menghasilkan. Nah, setelah 2011 ini (musisi indie) udah bisa nyayur (untung banyak, RED) sih.

BACA JUGA: Dari Mooner hingga Sir Dandy, Ternyata Iwan Fals Dengerin Musik Indie!

Banyak musisi besar yang pindah ke indie. Lo ngeliatnya gimana?

Dari point of view musisi, kan, label tuh kan ngambil porsi (penghasilan). Nah, kalau bisa kerjain sendiri, ya nggak perlu bagi-bagi porsi, nggak perlu kasih-kasih orang.

Jadi, ada kemungkian nantinya, band lebih memilih mengerjakan proyeknya sendiri?

Yang tadi gue cerita itu bagusnya aja sih. Tetap ada jeleknya (menjadi indie). Tapi, satu hal dasar sih, lo harus punya komitmen. Contohnya Young Lex. Ya buat gue sih dia norak musiknya, ini perkara selera, yah. Tapi, nggak banyak yang tahu, kalau Young Lex tuh membangun kerajaan bisnisnya dengan sangat baik. Dia mendidik followers-nya untuk nggak beli barang bajakan. Buat gue dia punya value. Young Lex udah berhasil di urusan bekerja keras menyampaikan message (dari musiknya). Itu yang menurut gue perlu ada di tiap musisi indie.

Editor : Rizki Ramadan

Baca Lainnya

Latest