Follow Us

Bach: Dihiptonis Raja Musik Barok

Rizki Ramadan - Senin, 31 Oktober 2016 | 11:15
Johann Sebastian Bach
Rizki Ramadan

Johann Sebastian Bach

Sudah pernah nonton film Se7en (1995) ? Jika sudah, kamu pasti apal betul scne ketika Somerset (Morgan Freeman) berkunjung ke perpustakaan untuk meneliti Divine Comedy: Inferno?

Se7en merupakan salah satu film favorit saya, dan adegan perpustakaan tersebut adalah adegan yang paling saya sukai. Sepele sebenarnya, sebagian karena saya menyukai dialog antara Somerset dan Si Penjaga Perpustakaan, sebagian lagi karena Divine Comedy, dan sebagian besar lainnya karena backsound yang dimainkan; Johann Sebastian Bach -Suite no. 2 in D Major. Entah sudah kali keberapa saya mendapati karya Bach pada scene film. Suite no. 2 in D Major adalah salah satu yang tersering, setelah Toccata & Fugue in D Minor.

Setelah beberapa waktu lalu saya menonton ulang film tersebut, saya tiba-tiba merindukan melodi-melodi lincah Bach. Sering kali saya memutar lagu-lagu Bach saat di tengah pengerjaan sesuatu, dan justru kemudian mendapati diri saya meninggalkan kegiatan tersebut dan terduduk diam ditawan nada-nada kontrapungnya yang harmonis. Gila!

Semua pecinta musik pra-kontemporer perlu mengakui kalau Bach adalah satu dari sekian musisi jenius. Tak hanya pada zamannya, tapi juga dalam konteks tak lekang zaman, timeless. Malahan, teknik improvisasi dantension-release Bach menjadi pondasi inspirasi dalam musik jazz modern. Dari sini, kita perlu menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk Felix Mendelssohn dan Samuel Wesley yang telah membangkitkan kembali karya-karya Bach sehingga masih dapat dinikmati hingga kini.

Sejatinya, saya memang menyukai seni zaman Barok secara universal. Saya jatuh hati pada kegilaan dan dramatisasi zamannya yang mengekspos sudut pretensius dan feodal manusia. Terutama dalam musik, ciri khas Barok adalah lompatan-lompatan notnya yang berkesan kasar dan berlebihan. Keberadaan melodi utama dan melodi iringan yang dibawakan dengan teknik rubato (bebas, ekspresif, tak terikat ketukan) untuk menggantikan absensi iringan pun mendukung kesan rumit tersebut. Di satu sisi, mungkin dramatisasi tersebut disebabkan oleh keterbatasan kapabilitasharpsicord yang memang saat itu yang belum mampu menciptakan dinamika atau karas-lembutnya suara, namun di sisi lain, saya beranggapan bahwa keseluruhan budaya dan seni pada zaman Barok memanglah overreact.

Dan justru kompleksitas itulah, yang membuat kita terkagum-kagum oleh musik Barok. Karya-karya Bach, terutama. Dibanding dengan musisi Barok lain, Bach, melalui toccata & fugue, cantata, suite, concerto-nya saya pikir telah mampu merangkum musik Barok secara sempurna dan tanpa celah; kerumitan dan sublimasi khasnya. Lebih dari itu, hasil tangan Bach terhitung mencapai angka ribuan!

Sampai di sini, mungkin dapat dikonklusikan bahwa saya memang tidak bermaksud melakukan kritik dan analitik mendalam soal Bach. Tak kurang dari itu, saya mengagumi Bach sebagai seorang Raksasa Musik yang merepresentasikan secara utuh dinamika musik sebuah zaman. Lebih lagi, akan bagaimana Ia telah mampu mewakilkan seluruh karakter manusia, kecuali; ketidaksempurnaan.

"This is what I have to say about Bach’s life’s work: listen, play, love, revere—and keep your trap shut." - Albert Einstein

Penulis:

Widya Salsabila - SMAN 3 DEPOK

Editor : Hai Online

Latest