Follow Us

Alasan Mengapa Uji Kompetensi Musisi dalam RUU Permusikan Bakal Berakhir Sia-sia

Bayu Galih Permana - Selasa, 05 Februari 2019 | 17:00
 Musisi sekaligus anggota Komisi X DPR, Anang Hermansyah, menjelaskan sejumlah hal terkait RUU Permusikan saat berbicara di ‘Bedah Tuntas RUU Permusikan’ yang digelar Koalisi Seni Indonesia, Senin (4/2).
Alvin

Musisi sekaligus anggota Komisi X DPR, Anang Hermansyah, menjelaskan sejumlah hal terkait RUU Permusikan saat berbicara di ‘Bedah Tuntas RUU Permusikan’ yang digelar Koalisi Seni Indonesia, Senin (4/2).

HAI-Online.com - Semenjak dipublikasikan, RUU Permusikan mendapat banyak sekali penolakan dari berbagai pihak karena pasal-pasal yang tertuang di dalamnya hampir seluruhnya terbilang nggak relevan.

Sebagai contoh, dalam Pasal 32 RUU Permusikan tertulis bahwa pelaku musik wajib mengikuti uji kompetensi yang disusun dan ditetapkan oleh menteri, berdasarkan pengetahuan, ketrampilan, serta pengalaman.

Berikut isi lengkap Pasal 32 dalam RUU Permusikan yang dirilis oleh Komisi X DPR RI:

(1) Untuk diakui sebagai profesi, Pelaku Musik yang berasal dari jalur pendidikan atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi.

(2) Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standa kompetensi profesi Pelaku Musik yang didasarkan pada pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman.

(3) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan usulan dari organisasi dan profesi.

Baca Juga : Ini Kronologi RUU Permusikan, Ternyata Sudah Muncul dari 2015

Menurut riset yang dilakukan salah satu peneliti dalam Koalisi Seni Indonesia, Hafez Gumay, akan sulit diterapkan apabila nantinya pemerintah mengharuskan seluruh musisi tanah air untuk ikut menjalani uji kompetensi.

"Hal tersebut akan sulit diterapkan karena kualitas karya musik tidak melulu berbanding lurus dengan kemampuan teknis seseorang dalam bermusik. Estetika adalah suatu hal yang subjektif, akan sangat sulit untuk mengukurnya dalam sebuah uji kompetensi yang seharusnya objektif dan ketat," tulis Hafez Gumay dalam risetnya.

Lebih lanjut, Hafez Gumay menjelaskan bahwa fasilitas sertifikasi musisi itu harusnya hanya diterapkan pada musisi yang membutuhkannya karena tuntutan pekerjaan, tanpa perlu menjadikannya sebagai kewajiban.

"Oleh karenanya, seharusnya yang diatur adalah fasilitasi sertifikasi bagi musisi yang membutuhkan hal tersebut karena tuntutan pekerjaannya. Bukan justru menjadikannya sebagai kewajiban yang berlaku mutlak," tambahnya.

Kalau pendapat kalian sendiri gimana nih sob? Setuju nggak dengan apa yang disampaikan Hafez Gumay dalam risetnya? (*)

Editor : Alvin Bahar

Baca Lainnya

Latest